Sering kita sebutkan bahwa kata adalah perbuatan. Perbuatan ataupun action pun biasa dilakukan orang untuk melakukan kegiatan sehari-harinya. Perjalanan hidup manusia sering menghadapi hal yang tidak diinginkan dan dihargai oleh orang lain sehingga terjadilah sebuah perbedaan yang amat sangat menyakitkan sehingga orang-orang itupun enggan untuk mengubah dirinya. Persoalan, terletak dalam banyak hal yang carut marut dalam kehidupan seolah-olah tidak akan terselesaikan diantara manusia. Setiap manusia pasti mempunyai jalan keluar dengan kekuatannya tapi tidak disadarinya, kekuatan yang digunakan selalu menemukan jalan buntu karena kegelapan dalam bertindak. Orang lupa dengan dialog diantara manusia yang sebetulnya merupakan kekuatan dalam bertindak. Orang lupa bahwa dalam proses dialog terjadi proses dialektika berpikir. Orang lupa bahwa dengan dialektika berpikir dapat memperkuat perjuangan hidup.

Dari abad ke abad orang tidak pernah lepas dari kesalahan sejarah yang gelap menuju pencerahan, tetapi persoalannya ada gerak yang mengulang kegelapannya ada juga yang maju terus menuju kemapanan. Selalu dilupakan bahwa gerak dan perbuatan pasti didasari pada tatanan nilai yang ada di belakangnya. Kebuntuan selalu diatasi dengan berbagai cara yang gelap termasuk kekerasan dan pembodohan fihak lainnya tanpa memandang antar-kelas maupun lembaga-lembaga intelektual yang seharusnya menghasilkan sebuah pencerahan seperti perguruan tinggi. Lembaga-lembaga Swadaya (LSM) yang semula untuk pencerahan civil- society pada pemberdayaan atau swadaya ekonomi dan berpikir tapi justru tidak dapat memberdayakan dirinya sendiri untuk swadaya apalagi swadesi. Belum lagi kalua kita harus menyinggung tugas dan tanggung jawab Partai Politik yang notabene yang disebut dengan wakil-wakil rakyat di Parlemen yang lama kelamaan bukan mewakili atau memperjuangkan suara konstituennya tetapi lebih mewakili dirinya sendiri demi kelanggengan kekuasaannya, suatu yang ironis memang tapi menjadi lebih jelas dalam contoh yang dapat kita ambil dalam tanggungjawab mereka untuk proses kaderisasi dan rasionalisasi partai politik, hampir tidak ada yang berjalan secara rasional dan .berjenjang, sehingga mobilitas sosial dan generasi yang cerdas pun akan mengalami kemandekan, di sinilah proses kegelapan dan pembodohan menjadi subur. 

Kalau sebelumnya kita menyalahkan rezim diktator melarang ini dan itu, kenapa pada saat iklim yang sebebas-bebasnya untuk membaca menulis sekarang ini justru tidak dimanfaatkan untuk menyiapkan generasi atau kader yang cerdas untuk berperan? Apakah harus menunggu pemerintah yang mengulurkan tangannya melalui Departemen Pendidikan atau agen-agen funding internasional sehingga baru kita yakin mengadakan pemberdayaan atau pencerdasan atau pencerahan kepada generasi muda atau rakyat atau kader partai atau suksesi kepemimpinan dalam organisasi di manapun? 

Emmanuel Kant, Sumber : thequintessentialmind.com

Beranilah Berpikir (sapere aude) kata Immanuel Kant, dan Beranilah Hidup kata Leo Tolstoy dalam karyanya War and Peace, bahwa hal yang paling sulit tapi suatu yang esensial adalah mencintai kehidupan itu sendiri, sesulit apapun kehidupan itu. Karena itu di sini dibutuhkan kerjasama antar-manusia, ataupun dalam diri manusia itu sendiri. Kalaupun seorang manusia itu mampu secara ekonomis beranilah berpikir bukan menjadi mapan tidak ingin berpikir apalagi memikirkan orang lain, begitu pula sebaliknya bukan berarti yang sudah mapan secara ekonomis saja yang harus berani berpikir tapi menyikapi kehidupan sesulit apapun tetap harus berani menjalaninya kehidupan itu sendiri dengan berani berpikir juga, sehingga kemiskinannya tidak dijual oleh orang lain. 

Kemiskinan berpikir lebih berbahaya daripada kemiskinan ekonomi, sebab sudah jelas yang membedakan manusia dengan hewan lainnya adalah karena berpikirnya dengan cara apapun. Kebebasan tanpa berpikir akan menjadi kehampaan dalam hidup. Dengan kebodohan tidak akan pernah ada kebebasan apalagi dengan pembodohan akan sama saja dengan perampasan kebebasan itu sendiri baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Seseorang dapat memperkosa dirinya sendiri dengan cara seperti itu tidak memandang apapun. kelas sosial nya, apabila ia membiarkan dirinya menjadi bodoh sama saja dia memperkosa dirinya dan secara tidak langsung memperkosa diri orang lain. 

Tidak mungkin kebodohan membantu kebodohan karena sama saja dengan orang yang hanyut membantu orang hanyut. Di sini diperlukan orang yang tidak “hanyut” untuk berpihak pada pencerahan sebagai kekuatan baru dalam perjuangan hidup sesamanya, yang dinamakan spesies manusia itu. Tanpa keperpihakan pada yang gelap menjadi terang sama saja kita memandang berbeda atas martabat manusia itu sendiri. Perlu adanya advokasi, bukan hanya dalam bidang hukum yang membela ketidakadilan, atau advokasi politik yang berpihak pada yang marjinal, atau advokasi sosial yang menempatkan keberpihakan pada yang lemah dan tertindas, tetapi juga perlu Advokasi Filosofis yang berpihak pada manusia yang buta akan kebijaksanaan (wisdom), buta akan ketidakfahaman sehingga berpuas diri dengan kegelapan berpikir dan tidak mengenal pencerahan dalam segala bidang. Kita ingat dahulu pernah Karl Marx menulis sekaligus mengeritik keadaan sosial yang disebabkan karena interpretasi manusia atas kondisi riil kemiskinan manusia dengan mengatakan bahwa bukan The Philosophy of Poverty melainkan The Poverty of Philosophy, maksudnya yang perlu disadari adalah bukan Filsafat Kemiskinan tetapi justru yang memprihatinkan adalah Kemiskinan Filsafat. Kesimpulannya adalah dengan adanya Padepokan Filosofi dan advokasi filosofis-nya, diperjuangkan kehidupan manusia yang masih dalam ketidakcerahan berpikir menuju pada kekuatan baru dalam perjuangan hidup yang lebih baik. Janganlah filosofi dijadikan monopoli segelintir manusia saja.

Ashoka Siahaan, dimuat di Buletin Sumber Edisi 1 Tahun 2007