Kenangan Guru Pencerahan

Prof. Dr. M. Soerjanto Poespowardojo

(1934 – 2022)

Setahun berlalu barulah saya mantap untuk memberikan renungan dengan kata yang bermakna dan mendalam untuk sosok yang besar dalam bangsa yang saat ini menjadi kerdil memandang pemikiran yang sublime dan substansial. Berat memang untuk kita simpulkan dalam setahun lalu ketika ia sedang bersemangatnya mencerahkan murid-muridnya dan menulis sekian jilid buku yang masih tertinggal belum enam jilid selesai. Ia meninggalkan kita selamanya dengan warisan kenangan yang panjang dan bermakna bagi murid-muridnya dan bangsa. “Dalam dirinya selalu ada terang yang bercahaya dan mengatasi kegelapan”, itulah yang bisa saya simpulkan tentang guru besar saya ini karena Dia senantiasa menerangkan dengan sejelas-jelasnya dari hatinya dan sekuat tenaga dalam hidupnya agar manusia itu seutuhnya mendapatkan kebenarannya yang menjadi hak setiap individu maupun kelompok manusia, dan tidak terlupa oleh para sloganis politisi maupun penindas dalam segala bentuk manifestasinya. Seperti Bung Karno yang sering mengutip exploitation de l’homme par l’homme dihapuskan dari muka bumi, begitulah kira-kira Soerjanto menghapuskan kebohongan atas manusia harus dicerahkan lewat filsafat.

Saya ingat betul pertama kali saya mendaftar sebagai mahasiswa filsafat di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ia sebagai ketua jurusan mewancara setiap mahasiswa didampingi sekretaris Jurusan Filsafat Prof . Dr. Toeti Heraty, saya diwawancarai keduanya hanya dalam waktu singkat saja, saya juga heran kenapa cuma sepuluh menit selesai, belakang hari saya mendapat jawabannya karena apapun kekurangan yang ada pada saya diterima saja. Pertama karena saya masih kuliah Jurusan Sastra Inggris waktu itu (1982) di IKIP Rawamagun sebelah kampus FSUI (sekarang FIB UI- Depok). Kedua, jarena mereka ternyata sedang mencari calon-calon mahasiswa yang muda-muda karena selama ini seperti program extensi mahasiswanya sudah lanjut usia dan mapan semua, namun saya ketika itu 20 an dan tidak lama kuliah memang disetujui Pak Soer (panggilan sehari-hari almarhum di kampus) menjadi ketua mahasiswa jurusan filsafat, bukan karena prestasi akademik tapi karena kreatif. Saya melibatkan mahasiswa-mahasiswa jurusan lain dan saya menginisiasi berdirinya Yayasan Filsafat Indonesia yang isinya para alumni mahasiswa filsafat dan dosennya sekaligus pecinta filsafat di Indonesia. Ketika itu tahun 1984 mendapatkan kantor di rumah Ibu Toeti jalan Cemara 5. Saya senang sekali bisa mengaktualisasikan filsafat dalam kehidupan walaupun ada saja yang tidak setuju atau bersikap sinis karena saya masih mahasiswa, tapi Pak Soer tidak peduli, Ia bahkan jalan terus mendorong kita untuk  membuat kongres pertama filsafat bertempat di Sahid Jaya Hotel, dan yang saya sesalkan akhirnya adalah kelompok terbeli diarahkan politis menjadi Ikatan Sarjana Filsafat (ISIFI) yang saya tidak ikut, Pak Soer ditunjuk sebagai Ketua Umumnya, dan terpilih menjadi Anggota MPR-RI.

Pak Soer selalu berpegang pada prinsip clear and distinct (clara et distincta) yang menjadi pedoman hidupnya terutama dalam mengajar. Pertama saya menjadi mahasiswa kalau menghadap di kantor jurusan berhadapan dengan kursi kerjanya, saya terkejut diatas kursinya pas bagian kepala terpampang foto lukisan Descartes, hitam putih yang amat terkenal itu, bertuliskan nama Rene Descartes. Mulai saat perkuliahan baru saya mengerti bahwa itu filsuf pujaannya yang memang sejiwa dengannya, “Je pense donc je suis”. Saya menganggap ciri suatu kejujuran dan keluarbiasaan yang saya sukai, walaupun saya menyukai Kant dan sering bertanya bagaimana pendapatnya. Dia tidak mengecilkan bahkan ketika memberi saya bukunya sebagai hadiah, Ia tuliskan “Sapere aude” di kata-kata Immanuel Kant “Beranilah Berpikir”.

Dok. Pribadi : Ashoka (paling kiri) bersama beberapa sahabat mahasiswa Jurusan Filsafat FSUI, salah satunya adalah Sultan Mudafar Sjah (kedua dari kiri)

Walaupun Pak Soer mantan seorang pastor dari Carmelite, tapi tidak berkesan sama sekali ia dogmatis atau kaku dalam berbagai pendapat sebagaimana pastor-pastor yang beberapa mengajar di tempat kami terasa kental cara-cara skolastiknya yang kadang tidak memberikan informasi bukan yang seimbang apakah itu seorang ateis atau bukan semustinya dipelajari seimbang. Berbeda dengan Pak Soer, banyak buku yang ia berikan justru buku-buku asing yang menurut saya obyektif untuk pengantar yang clear and distinct seperti buku berjudul “living Issues on Philosophy” by Titus and Nolan, bukan hanya sekedar buku-buku dari Driyarkara. Dia juga yang memperkenalkan kita dengan literatur buku-bukudari Van Peurson antaralain Orientasi Ke Alam Filsafat, dan Strategio Kebudayaan, buku-buku Phenomenologi dan yang paling ia tekankan adalah Ernest Cassirer yang justru sebagai Neo Kantian ia wajibkan An Essay On Man sebagai buku ujian komprehensif/lisan di tahun terakhir penetuan sebagai mahasiswa filsafat. Sikap terbuka dan seimbangnya itu yang saya kagumi sebagai pengajar. Begitu pula dalam memilih komposisi dosen-dosen yang mengajar kita juga sangat unik. Ada Ibu Putu Sujati yang hindu dan 20 tahun belajar di India. Ada Prof Dr. Harun Nasution yang saya kagumi rasionalnya mengajarkan dengan buku-bukunya tentang filsafat dan mistisisme islam yang bisa dibaca semua kalangan. Ada juga Pak Abdullah Ciptoprawiro yang seorang Laksamana tapi menjadi Sufi Jawa mengajarkan kita tentang Filsafat Jawa, dan yang paling berkesan adalah Prof. Dr. Slamet Iman Santoso yang sebagai pendiri jurusan psikologi UI, amat serius bahkan Prof. Dr. Fuad Hasan pun yang mengajar kami adalah muridmnya dulu lalu menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kita banyak mendapat pendalaman dan keluasan (res cogitan dan res extensa) dalam pengetahuan filsafat kehidupan, empati dan kritisisme.

Saya sendiri selama hidup menjadi mahasiswa di Jakarta belum pernah melihat seorang dosen walaupun saya kuliah di tiga kampus yang kapabilitas mengajarnya seperti Pak Soer mengajar, walaupun ada seorang pendidik terkenal dan penulis buku Pendidikan Namanya Dr. J. Riberu terkenal mengajar kkita secara sistematis bagusnya untuk pelajaran sejarah Yunani, tapi saya menganggap suasana mengajar Dia kering, monoton dan khas cara skolastik, bermutu tapi hambar, ibarat memasak suatu menu dengan bahan yang lengkap dan kualitas tapi proses memasaknya tidak menciptakan “masakan” itu enak dirasakan, lain koki lain masakan kata pepatah para kuliner. Begitulah Pak Soer, seluruh mata kuliah yang diajarkan amat menarik, hal yang susah seperti tema fenomenologi bisa menjadi sederhana tapi mendalam, seperti satu kata berbahasa Jerman “Voraussetsunglossigkeit” sudah menjelaskan sebuah pemahaman kita arti filsafat dalam fenomenologi. Sepertinya dia memberi rumus ilmu pasti yang mudah diingat untuk menjelaskan gejala alam semesta. Yang paling saya ingat Ketika masa kuliah dia amat terbuka, apalagi ketika saya sebagai Ketua Mahasiswa Jurusan sering memberikan masukan untuk acara-acara Fakultas maupun Himpunan, dia tidak pernah menjadi feodal dalam mengambil keputusan, bahkan saya diberi kebebasan menentukan pembicara, moderator, dan ia tinggal membuka acara dengan sambutan, pokoknya dia bilang tidak mau pusing dan terima beres semua baik dari anggaran yang didapat dari kolekte mahasiswa, karena ketika itu yang namanya kampus negeri amat sederhana, untuk tidak mengatakan miskin sebetulnya, ruang kantor ataupun kelas tidak ada yang ber- “AC” contohnya, apalagi overhead proyektor.

Dok. Pribadi : Ashoka saat menjadi moderator Prof. Dr. Harun Nasution pada sebuah acara seminar dan diskusi di FSUI

Umumya hubungan dosen mahasiswa di UI egaliter sekaligus juga bisa killer. Jadi sepertinya kita memaknai hubungan tersebut tidak menjadi irrasional, jadi harus membuktikan dengan prestasi dalam arti luas, artinya bisa saja sambil kuliah tapi juga kreatif menciptakan berbagai kegiatan yang kadang mempengaruhi pengertian sang dosen sambil tidak menjadi killer atas absensi kita yang memang dituntut untuk mengangkat nama fakultas UI ataupun jurusannya (Prodi), asalkan ujian dan membaca literatur tetap harus dipenuhi daya nalarnya dan paper-paper yang diharuskan selesai sesuai deadline.

Pak Soer itu tidak pernah kaku sikapnya untuk hal-hal tersebut, asalkan prestasi dan membaca dengan nalar Cartesian. Uniknya, dia sering pada akhir semester bertanya pada saya sebagai ketua mahasiswa apakah para peserta kuliah di kelas menyukai pelajaran yang ia berikan, dan ada masukan serta pelajaran filsafat apa yang diinginkan supaya disampaikan saja. Tentu saja saya senang menjawabnya langsung, karena saya tahu ia bukan seorang feodal yang penuh basa-basi. Orang sering mengatakan bahwa Pak Soer tidak gampang memberi keputusan kalau diberi masukan, sebetulnya orang itu tidak mengerti metode berpikirnya, bukan karena ia seorang birokrat merangkap di Sekretaris Kabinet di Bina Graha, ataupun karena dia feodal, melainkan karena ia clear and distict kalau memutuskan sesuatu dan konsisten sekali ia putuskan sehingga orang tidak menjadi bingung. 

Dua kali saya mengusulkan pada beliau mata kuliah yang diperlukan mahasiswa agar lebih matang dan jelas yaitu metode-metode dalam filosofi dan pengantar filsafat ilmu pengetahuan. Dan ini konsisten sampai akhir hayatnya ia berikan tulisan-tulisan yang amat berharga sebagai warisan untuk bangsa umumnya dan mahasiswa-mahasiswa segala lapisan dan jurusan, yang ia tulis menjadi tiga jilid bukunya yang terakhir ia tulis, agar pencerahan ilmu filsafat tetap mencerahkan manusia. Dia dengan asistennya Dr. Alexander Seran yang finishing touch ketiga jilid buku itu sampai selesai dan diluncurkan beberapa kali oleh penerbitnya Gramedia.

Wataknya yang humanis egaliter selalu muncul dalam setiap penanganan masalah mahasiswa maupun bangsa. Pendekatannya selalu kritisisme dalam budaya dan pegangannya dalam filsafat modern selain Descartes, ia banyak mendalami pemikiran Marx Muda, juga sering berpegang pada buku-buku mazhab Frankfurt seperti Adorno, Horkhaimer, juga Herbert Marcuse. Saya senang sekali sebagai orang muda kala itu membaca buku-buku yang menantang perubahan dan rasionalitas baru sosialistis. Dia membuka wacana kita mencari buku-buku yang sebagian besar setengah dilarang untuk umum kecuali dalam perpustakaan dan skripsi.

Sikapnya yang humanis itu juga sering berpengaruh pada mahasiswa-mahasiswa perantauan dari daerah-daerah, kebetulan kebanyakan dari Jawa-Bali, ada juga Sumatera dan Indonesia Timur. Ia sering memberi dispensasi waktu yang tidak kaku kepada mereka yang banyak bekerja untuk menafkahi hidupnya, begitu juga memperjuangkan beasiswa. Memang suasana di UI hubungan dosen dengan mahasiswa sepertinya egaliter, dan di luar bisa menjadi teman atau patron yang demokratis bukan patron clien feodalistik. Sikap keterbukaan dosen-dosen ini justru yang membawa kemajuan jangka panjang dari kedua belah pihak, apakah itu hubungan kerja resmi di kantor, dan asisten dosen, maupun dalam proyek-proyek penelitian. Sebetulnya dalam suasana kampus zaman Orde Baru amat sulit bergerak bagi mahasiswa apalagi persoalan organisasi kemahasiswaan, apakah itu Senat Mahasiswa mauapun kegiatan diskusi harus mendapat surat izin Dekan dan seterusnya.

Tetapi pada umumnya dosen maupun jajaran dekanat apalagi tatausaha amat sangat baik mempermudah informasi kepada para aktivis, termasuk Pak Soer, juga banyak dosen lainnya yang mempersilahkan siswa-siswa yang sulit mondok atau kos bisa diperjuangkan di Asrama, dan kadang ada perumahan dosen yang kosong atau agak kurang bisa dihuni murid-muridnya.

Kemanusiaan dosen-dosen ini juga yang tidak mempersulit saya untuk lulus ujian komprehensif dan pembuatan skripsi saya tentang Logoterapi Victor Frankl, karena bersamaan terjadinya musibah ayah saya meninggal, sehingga pembimbing saya Prof. Dr. Toeti Heraty dan Prof. Dr. SM. Sastrapratedja SJ, dan Prof. Dr. Soerjanto Poespowardojo lancar-lancar saja menerima ketikan menyempatkan waktunya yang padat untuk bertemu dan memeriksa naskah draft skripsi dari bab ke bab. Hanya dalam enam bulan bisa selesai dengan kerja keras bersembunyi menyepi di pegunungan Cisarua. Pak Soer menguji saya dengan hanya dua pertanyaan, dan pertanyaan yang terakhir justru tema saya apakah sesuai di Indonesia. Selesailah skripsi itu tahun 1987, wisuda pertama di kampus Depok UI. Setelah itu kita lama tidak bertemu, karena saya harus mencari kerja di Mochtar Lubis di penerbitnya Yayasan Obor Indonesia juga kegiatan lainnya di gerakan dan lembaga swadaya. Saya lebih banyak bertemu dengan Ibu Toeti Heraty karena memang ranahnya ibu ini dunianya pada bidang-bidang budaya.

Dok. Pribadi : Suasana pada saat penandatanganan dokumen pengajuan legalitas pendirian lembaga Kajian Ideologi Pancasila

Saya sudah merasa bahwa dengan situasi seperti itu kita akan semakin sulit bertemu, terutama dengan dua guru besar ini. Beberapa cara saya sudah coba dengan mengunjungi secara berkala kedua mereka guru kita, tapi tetap tidak efektif dari cara kedekatan yang tidak rutin. Mungkin hanya terhitung jari mantan muridnya seperti saya ini yang masih bisa bertemu sebagai “kawan” sekarang walau kita tetap “pay respect to our great teachers”. Beberapa dari murid barunya seperti Ibu Baramuli, Ibu Ostina Panjaitan, Sultan Mudafar Sjah, Ojak Siagian, Ibu Bambang Sarah yang tidak mempunyai vested interest tapi sering mensupport acara kegiatan agar bisa menjadi sarana kita bertemu. Akhirnya saya mengusulkan pada mereka untuk membuat penerbitan sehingga kita secara rutin bisa rapat di rumah salah satu Ibu-ibu itu di daerah Menteng, ada yang di jalan Cut Meutiah No. 5, jalan Imam Bonjol 51, dan jalan Cemara No. 5. 

Di tempat-tempat inilah khususnya di Cut Meutiah dan Imam Bonjol berbagai pertemuan dan pendirian berbagai lembaga kita dirikan dan melibatkan Pak Soer agar kita bisa langsung partnership bersama Ibu Toeti juga. Penerbitan Yayasan Sumber Agung juga dibentuk lalu pertemuan-pertemuan setiap Selasaan kita aktifkan lagi, dengan mengundang intelektual muda agar bisa berkenalan lebih luwes dengan Pak Soer. Ia banyak memberikan pengalamannya dalam hidupnya dengan berbagai organisasi yang didirikannya untuk Study Strategic setahu saya dengan beberapa tokoh Jenderal Lemhanas seperti Jenderal SutoyoYowono, dll, dia memang dibutuhkan diberbagai bidang kajian bukan hanya pengajar di kampus-kampus sebagaimana umumnya tamatan filsafat, tapi itu juga yang saya tidak tertarik, walaupun salah juga dan menyesal juga saya karena menolak tawaran Pak Soer ketika suatu waktu ia melihat saya mendirikan Padepokan Filosofi dan Pondok Tani Yasnaya Polyana di mana beliau juga saya tempatkan sebagai anggota Dewan Kehormatannya, tentu Ibu Toeti saya masukkan juga. Tidak ada rasa keberatan dari mereka itu dengan mencantumkan namanya tanpa pemberitahuan lebih dulu pada Buletin Sumber Padepokan. Saya ditawarkan Pak Soer untuk mengisi mata kuliah yang sedang disusun tiap semester dan beberapa orang tamatan yang dianggap capable bisa mengisi kuliah karena ahli seperti Rocky Gerung dan Tommy Awuy yang bukan Doktor sudah diminta mengisi kuliah. Saya pun ditawari mengisi untuk kelas filsafat tani sebagaimana usul saya dengan mata kuliah yang agak aneh kedengarannya tapi akan menarik karena mengaplikasikan advokasi filosofis sebagaimana sudah saya susun kurikulum dalam artian silabusnya. Saya masih ragu Ketika itu apakah harus saya sendirian atau bisa diberi waktu untuk menyusun tim pengajar saya. Ternyata tidak mudah mencari tim untuk kebutuhan mata kuliah yang saya usulkan dan itu yang paling saya sesalkan dalam hidup kenapa atas kebaikan Pak Soer menawarkan saya mengembangkan konsep filsafat tani yang sudah saya susun tidak saya realisasikan, sampai Pak Soer pensiun dari Guru Besar Emiritus hal ini tidak terlaksana, walaupun bagi Pak Soer tidak masalah mungkin saja, ia lupa juga karena tidak ada respon dari saya. Saya menghargai kebaikan hatinya yang tulus dan berpikirnya lurus. Tetapi ini tidak mengurangi perjumpaan kita dari satu periode preseden ke preseden lainnya. Ia pun sempat mencalonkan dirinya sebagai legislatif dan sempat dibantu secara moral dan material oleh kawan-kawan, rupanya ia bukan zamannya untuk kampanye menghadapi rakyat yang transaksional dan terlalu tinggi untuk dibawa dengan iklim politisi yang sekarang sloganis dan pragmatis. 

Saya kagumi Pak Soer selalu ia ingin dan yakin bisa mengubah sesuatu menjadi lebih baik, dia tidak kenal umur juga dirinya tetap semangat terutama untuk urusan negara. Setelah dengan susah payah saya dan kawan-kawan berniat membentuk Dewan Ideologi Nasional, dan akhirnya bisa tidak ada kejelasan dari penguasa baru waktu itu tahun 2014 kita dirikan Pusat Kajian Ideologi Pancasila, termasuk Pak Soer saya cantumkan sebagai Dewan Pakarnya disamping Ibu Ratu (GKR) Hemas. Sampai di hari wafatnya anehnya pas hari Kesaktian Pancasila (menurut versi OrBa), karena menurut saya Pancasila bukan mistik, kalkaupun mau dikatakan sakti ya harus setiap hari sakti, jadi jangan dibuat seperti obat mujarab, kita sepakat dalam hal ini sama Pak Soer, Pancasila jangan dijadikan mistik tapi harus menjadi pedoman hidup sehari-hari yang mencerahkan dan meluruskan sebagaimana ideologi bangsa yang selama ini tidak dijadikan “senjata” perjuangan menghapuskan kebodohan seperti yang dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 45 kita. Pak Soer penuh semangat dan pasnya kita saling menyemangati untuk pencerahan.

Dok. Pribadi : FGD pembentukan awal Komisi Ideologi Nasional yang akhirnya menjadi Pusat Kajian Ideologi Pancasila (16 Oktober 2014). Turut hadir Pak Soer, Ashoka dan beberapa tokoh lainnya.

Ada satu kalimat yang pas ia jalankan sepanjang kehidupan menurut saya yang menjadi dulu murid lalu kawan dan berlanjut sebagai camerade in arms, kalimat phrase yang pas yaitu : Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia, terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya. Damailah arwahnya senantiasa menjadi semangatbagi yang ditinggalkan.

Padepokan Filosofi – Purwokerto, 1 Oktober 2023 

Ashoka S