Bangsa menjadi kerdil karena mediokritas! Bisa dibayangkan betapa mengerikannya apabila sebuah bangsa bisa lenyap di antara bangsa-bangsa yang baru timbul, yang semula merupakan bangsa yang tidak diperhitungkan, karena kebiadabannya. Tetapi karena (bila) menyadari dirinya harus meningkatkan kualitas berpikir dan beradab maka bangsa baru tersebut dapat menguasai peradaban dunia yang pasang dan surut.
Turky menjadi contoh untuk ini, dimana berabad-abad awalnya berasal dari suku kecil bernama Sedjuk yang hidup sebagai tenaga budak dan keamanan di dinasti. Dinasti (raja-raja) Mesir, akhirnya bersatu dan berontak menjadi kekuatan baru sebagai bangsa baru dan besar bahkan menjadi Ottoman Empire yang menguasai sampai beratus-ratus tahun hingga jazirah Eropa Timur, pasang dan surut dalam percaturan politik dan peradaban dunia, menemukan dan kehilangan pemikir dan pemimpinnya yang cerdas bukan mediocre (pas-pasan), hingga Turky yang disebut begitu kuat surut menjadi The sick man of Europe, karena dipimpin oleh kebobrokan berpikir pada suatu periode masa kekuasaannya, lalu bangkit kembali dipimpin oleh gabungan kaum muda yang cerdas dan progresif dengan gerakannya disebut Gerakan Turky Muda (The Young Turks) dengan pemimpinan tokohnya Kemal Attaturk, maka terselamatkanlah peradaban dan bangsa Turky hingga sekarang sebagai satu bangsa yang kuat dan diperhitungkan di Timur Tengah.
Contoh lain adalah tokoh briliant dalam strategi Ghengis Khan yang menyadari betul kekurangan berpikir konseptualnya walaupun selain hampir menguasai seluruh jazirah China dan Asia kecil, maka ia memutuskan untuk dapat mengadopsi banyak ajaran dari negeri yang ditaklukannya termasuk China dan India, dan Timur Tengah (Islam). Dia banyak belajar/mendengar dari Tao (Lao Tse) soal kebajikan dan filosofi hidup. Dia amat menyadari bahwa seorang pemimpin harus kreatif dan inovatif tidak bisa pas-pasan. Pemimpin yang pas- pasan akan membawa kekacauan bangsa dan rakyatnya. Seperti yang diungkapkan Nietzche dalam Zaratrustra.
Kesengsaraan sepanjang takdir manusia di dunia karena para penguasa bukan menjadi manusia unggul, dan karena itu semua akan menjadi kepalsuan yang mengerikan. Pemimpin yang tidak mempunyai imajinasi, intuisi dan motivasi selayaknya tidak perlu memimpin, karena kalau hanya memiliki pengetahuan yang pas- pasan, bagaimana mau membimbing dan mengatasi persoalan-persoalan besar manusia, mana mungkin orang hanyut akan menolong orang hanyut. Bukan berarti orang yang memiliki gelar sampai berderet- deret di depan maupun di belakang namanya berarti dengan sendirinya mampu memimpin secara bijak, dibutuhkan kearifan bukan gelar kesarjanaan yang menandakan seseorang bukan pas-pasan dalam hidupnya yang avidya yang tidak mau berpengetahuan itu.
Manusia yang unggul bukanlah high living low thinking, bermalas-malasan tidur sepanjang hari. Manusia medioker (mediocre) adalah manusia yang berwawasan pas-pas-an, dan merasa senang dengan ke-pas-pas-annya itu. Mereka pemalas untuk berpikir lurus apalagi berhati tulus. Mereka sudah puas apalagi bila sudah diperlengkapi dengan kebutuhan finansial yang cukup berlebihan dan kemapanan semu. Rasa ingin tahu atas dirinya apalagi orang lain dan lingkungannya sudah menjadi beku. Memang betul manusia itu pentingnya kesadaran diri atas keterbatasannya dan tekad untuk melatih berpikirnya harus didasari kemauan keras (strong will). Kalau tidak ada kemauan dan usaha yang keras tapi ingin berhasil atau dipandang berkuasa tentu akan menjadi pemimpin pas-pas-an tadi bagaikan badut yang tertawa sepanjang hari walau sudah tahu bersalah karena kebodohannya. Tetapi kalau sudah berusaha keras walau tidak mencapai puncak keberhasilan maka manusia seperti itu akan cenderung lebih menonjol kejujurannya dan menerima apa adanya dan bersedia dipimpin tentunya oleh yang lebih berkecerdasan – sekali lagi bukan ber-gelar-an. Yang amat disayangkan sekarang yang sering kali terjadi adalah proses demokrasi yang terbalik-balik, ketika pemimpin yang pas-pas-an dan tidak tahu dirinya memimpin orang yang pas-pas-an tetapi tahu dirinya.
Bisa dibayangkan bagaimana komunikasi politik yang terbangun nantinya. Lama kelamaan para pemimpin ataupun wakil rakyat hanya mengikuti yang memilihnya semata, terjadi proses tahu sama tahu atau sebaliknya tidak tahu sama tidak tahu. Yang memimpin hanya sanggup berpikir pas-pas-an sedangkan yang dipimpin hanya sanggup hidup pas-pas-an. Kelompok manusia tadi hanya ingin berkuasa dengan tidak mempunyai visi untuk mengubah atau mendidik orang yang memilihnya, dan menikmati kebodohan atas kebodohan. Dia yang mengalami mediokritas, mengira bahwa dia berhasil membodohi orang-orang sehingga dia terpilih memimpin padahal dia sendiri yang terpilih oleh kebodohannya yang tidak bisa memberi visi pada pemilih yang menyadari kebodohannya. Proses interaksi medioker itu sungguh rumit karena menimbulkan budaya kemunafikan, seolah- olah orang merasa pintar dan cerdas padahal isinya ketidakjujuran mengakui kebodohannya sehingga takut tersaing oleh orang lain dalam regenerasi dalam bidang apapun. Apalagi mengharap seorang medioker melakukan kaderisasi adalah suatu hal yang mustahil, kareba senjata kemunafikannya tadi akan hancur berantakan dan membahayakan status quo dirinya maupun kedudukan dan kekuasaannya.
Harapan satu-satunya adalah melalui pendidikan yang rasional dan berjaringan sehingga terjadi interaksi yang intens dalam segala bidang. Harapan perguruan tinggi atau pendidikan umum sudah hampir pudar karena terjebak dalam industri pendidikan yang mencari profit semata.
Walaupun orang itu bodoh asal mampu membayar mahal jurusan yang ia inginkan dapat saja menjadi seolah-olah menjadi cerdas dan bergelar. Cita- cita setiap orang tua yang medioker demi gengsinya, anaknya harus disekolahkan di luar negeri atau di tempat yang bergengsi, agar kemunafikan tidak terbongkar maka semua perangkat harus dikerahkan termasuk menghalalakan segala cara termasuk dengan mudahnya menjadi plagiator yang tidak bermoral pastinya, tanpa malu-malunya seorang bahkan suatu bangsa memplagiat karya orang/bangsa lain. Jangan berharap di dunia/bangsa yang medioker akan ada originalitas atau gotong royong, semua akan menyelamatkan dirinya masing-masing kearah yang lebih enak dalam arti konsumtif bukan kreatif. Yang dikejar lebih banyak hal-hal materi dalam hal kuantitas instan bukan dunia cita-cita atau kualitas. Dengan berkembangnya dunia mediokritas ini akan berkembang sejalan juga dengan budaya tukang, dari pelukis menjadi tukang lukis, dari penyanyi menjadi tukang nyanyi, dari penulis/pengarang menjadi tukang nulis dan seterusnya. Jauh hari setelah merdeka kita diingatkan oleh Soekarno perihal bangsa kita yang akan menjadi bangsa budak dan menjadi budak diantara bangsa-bangsa apabila kita tidak mengembangkan dan mempertahankan kemerdekaan dengan berdikari dan berkarakter mempunyai harga diri. Membasmi soal mediokritas ini baik dalam kehidupan berpolitik, kemasyarakatan maupun dunia pendidikan hanya ada jalan dengan sebanyak mungkin berlatih diri dan mengadakan pelatihan-pelatihan di segala bidang dan lapisan sehingga memungkinkan manusia kader yang unggul dapat muncul ke permukaan dengan dilengkapi dengan pengetahuan akan siapa dirinya. Banyak yang mengakui dirinya “manusia unggul” tetapi janganlah cepat percaya dengan perkataannya sebab kemungkinan mereka aktor aktor yang penuh kebohongan.
Catatan Kritis Oleh Ashoka Siahaan, terbit di Buletin Sumber Edisi 11 tahun 2009