Dua tahun masa pandemi covid 19 mulai berangsur pulih, berbagai aktivitas pun mulai menggeliat dibanyak belahan bumi memenuhi kembali ruang-ruang kerinduan perjumpaan antar manusia. Tak luput juga bagi Padepokan Filosofi dan Pondok Tani Organik Yasnaya Polyana, meski berada di tempat yang terisolir dari hiruk-pikuk keramaian kota, namun tetap mencoba terus andil dalam merajut perjumpaan penuh makna dalam dialog antar manusia. Kerinduan untuk Kembali dan terus merawat dialektika dalam kehidupan serta upaya untuk terus menggaungkan kearifan lokal tani menjadi tema penting yang diangkat dalam suasana kegiatan buka puasa dan ramah tamah yang diselenggarakan Padepokan pada sabtu, 8 April 2023 kemarin.
Filsafat tentang pengorbanan dan upaya mencerdaskan kehidupan manusia terpateri dalam suasana buka puasa yang bertepatan dengan malam menjelang Paskah bagi umat kristiani dan juga momentum Nuzulul Qur’an bagi umat muslim. Ashoka selaku pendiri Padepokan menjadi pemantik kegiatan buka puasa yang dirangkai dengan bincang buku “Ngenger Tani” oleh siswa sekaligus pengurus Padepokan, Warseno. Ashoka mengatakan bahwa momentum perjumpaan tersebut hendaknya dapat direnungi sebagai bagian dari perjalanan kehidupan untuk terus dapat berbagi dengan mau mengorbankan diri kita sebagai manusia dalam usaha turut serta memberikan pengajaran agar manusia tidak buta akan kebijaksaan.
Menurut Ashoka, berkorban berarti meniadakan sifat kerakusan dalam diri sehingga aktivitas berbagi menjadi saluran yang tepat untuk dilakukan dalam setiap perjumpaan antar manusia. Ia mengutip salah satu ajaran dalam agama islam bahwa seekor serigala di dalam serratus kawanan domba tidak lebih rakus daripada manusia. Hal ini aia tegaskan bahwa momen perjumpaan buka puasa ini haruslah dapat mengikis sikap ego pribadi dan harus mau berkolaborasi antar jaringan, baik itu petani, birokrasi, intelektual, kampus, pengusaha, aktivis dan juga umat beragama.
Bincang buku yang bertemakan Ngenger Tani menjadi menu pembuka menjelang buka puasa. Budaya ngenger menjadi konten literasi kearifan lokal yang harus terus ditumbuhkembangkan khususnya untuk generasi muda saat ini. Warseno selaku penyaji buku Ngenger Tani menyampaikan bahwa dalam usaha melakoni ngenger haruslah memenuhi tigra prasyarat utama sebagaimana dilakukan Soemantri dalam cerita pewayangan. Ketiga hal tersebut disebut dengan tripakara yang terdiri dari guna (kecakapan), kaya (memberikan harta), dan purun (tekad dan kemauan). Ketiga hal tersebut menjadi pondasi aktivitas ngenger. Meskipun telah banyak dilupakan dan ditinggalkan, namun Padepokan berusaha merevitalisasi Kembali kearifan lokal ngenger ini menjadi lebih kreatif tanpa harus kehilangan substansinya.
Kegiatan buka puasa yang dihadiri tidak lebih dari dua puluh lima orang ini serasa lebih bermakna oleh dialog antar jaringan yang hadir. Dekan FIB Unsoed, Ibu Ely yang hadir merasa tergugah dalam sesi bincang buku maupun obrolan santai Bersama banyak jaringan tamu yang hadir. Lontaran menu tentang intelektual organik menjadi hangat diperbincangkan dalam obrolan hingga hujan mereda sekitar pukul 20.30 WIB. Turut hadir pula kepala desa Windujaya yang memberikan sambutannya yang mendorong Padepokan untuk terus berkarya memberikan pencerahan khususnya dalam bidang kehidupan tani bagi masyarakat sekitar. Sholeh, salah seorang murid dan jaringan Padepokan pun ikut menguatkan tentang keberadaan Padepokan serta merasa berbangga bisa menjadi bagian dari keluarga Padepokan yang terus konsisten dalam melakukan upaya advokasi filosofis dalam segala bidang kehidupan khusunya intelektual dan tani.
Rangkaian kegaitan masih berlanjut hingga larut malam dengan obrolan Bersama para pegiat pupuk cair organik Lestari yang digawangi Bapak Imam Bersama timnya. Dimana penguatan masyarakat tani selain harus dimajukan kesejahterannya juga harus dicerdaskan kehidupannya. Selain itu tema tentang mengelola generasi muda tani juga tak luput dalam perjumpaan yang hangat tersebut. (sen)