Pernyataan sikap kebudayaan menekankan pada kerja kongkrit kebudayaan serta menolak slogan dan monopoli filsafat oleh segilitir manusia disampaikan Ashoka Siahaan pendiri Padepokan Filosofi Yasnaya Polyana awal bulan ini. 

Dalam paparannya, ia mengkritik intelektual kampus yang mapan dalam gelar-gelar “kebangsawanan” akademik yang lebih banyak enggan melakukan upaya karsa untuk berpihak kepada pencerahan kehidupan manusia. 

“Harapan kita Tri Dharma Perguruan Tinggi mengacu kepada tri daya upaya karsa,” paparnya dalam acarw Padepokan Filosofi dan Pondok Tani Organik Yasnaya Polyana Indonesia yang menyelenggarakan acara Penghargaan Filosofis Tri Daya Upaya Karsa dan Diskusi Kebudayaan bertajuk “Peranan Kebudayaan Lokal untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Acara diselenggarakan di Sasono Joko Kaiman 2 Maret 2019 pada sela-sela rangkaian kegiatan Hari Jadi Kabupaten Banyumas yang ke 448

Kepada Bergelora.com.dilaporkan, Asoka Siahaan menekankan pada kerja kongkrit kebudayaan serta menolak slogan dan monopoli filsafat oleh segilitir manusia

Pada sesi diskusi kebudayaan, Dekan FIB UI menyampaikan bahwa kearifan lokal menjadi sumber pengetahuan dan acuan jati diri bangsa. Ia juga menyayangkan intelektual yang setelah masuk menjadi birokrat hanya menjadikan kebudayaan sebagai “keset”. Mereka meninggalkan kebudayaan saat menjadi birokrat dan kembali menanyakan kebudayaan saat pembangunan fisik mencapai kegagalan.

Warseno, ketua Lembaga Advokasi Kearifan Lokal (LAKL), menyambung pembicaraan diskusi menjelaskan bahwa Advokasi filosofis mengarah pada upaya creation of culture, bukan hanya preservation of culture. Riset dan kreatifitas berperan penting agar mampu mengahadapi kemajuan global tanpa hanyut dalam arus globalisasi. Ia juga menghimbau jika kearifan lokal tidak dibingkai dalam kebudayaan nasional dan Ideologi Pancasila akan dapat menimbulkan bentuk primordial baru karena merasa paling superior.

Sementara itu, Alif Syuhada perwakilan dari anggota Padepokan Filosofi menjelaskan tentang mediokritas sebagai sumber persoalan sosial. Ia juga menambahkan program-program Padepokan yang menunjang berswadaya pikir masyarakat tani antara lain Peasant Children Education. Program ini bertujuan untuk menyiapkan generasi tani agar minimal mampu menjadi guru bagi dirinya sendiri, serta mampu kreatif mengembangkan potensi desa.

Penghargaan Filosofis juga diselenggarakan dalam rangka memperingati dua dasa warsa Padepokan melakukan upaya karsa di desa yang mana idenya telah terilhami sejak 40 tahun yang lalu.

Acara dihadiri oleh Bupati Banyumas Ir. H. Achmad Husein, akademisi, intelektual, praktisi pertanian organik, seniman, pramuka, aktifis, hingga pelajar dan guru di sekolah-sekolah Kabupaten Banyumas. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI) Dr. Adrianus L.G. Waworuntu juga hadir sebagai narasumber bersama tim Padepokan dalam diskusi kebudayaan.

Hal istimewa dalam peringatan 20 tahun Padepokan adalah pemberian penghargaan filosofi Tri Daya Upaya Karsa kepada tokoh-tokoh dan sahabat perjuangan Padepokan Filosofi yang telah melakukan upaya karsa di masyarakat. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Prof. Dr. Ionna Kuchuradi, filsuf dari Turki yang menjadi presiden filsafat dunia, Prof. Dr. F.M Suhartati  seorang Guru Besar bidang Peternakan dari Universitas Jendral Soedirman (UNSOED) Purwokerto, Maria Rita Roewiatoeti S.H, aktifis hukum agraria dari Surakarta, dan Basuki Setiadi. A.Md. seorang praktisi pertanian organic dan birokrasi di Kabupaten Banyumas. Penghargaan Filosofi diberikan langsung oleh Bupati Banyumas.

Dalam sambutannya, Ir. Achmad Husein mengatakan sangat berbangga dengan acara 20 tahun Padepokan serta mendukung Tri Daya Upaya Karsa. Kegiatan semacam ini harus menjadi permenungan antara kita dan kemajuan dunia. Kita tidak boleh hanya menjadi penonton dan pemakai produk kemajuan khususnya teknologi, terang Bupati. Bupati berpesan agar kita tidak meninggalkan dan selalu berpijak pada kearifan budaya kita. (Web Warouw)