Penghargaan Filosofi Tridaya Upaya Karsa #4 Menyalakan Kembali Api Intelektual Organik dari Banyumas untuk Indonesia

BERITA

5/22/20253 min baca

Penghargaan Filosofi Tridaya Upaya Karsa #4 yang diselenggarakan oleh Padepokan Filosofi
Penghargaan Filosofi Tridaya Upaya Karsa #4 yang diselenggarakan oleh Padepokan Filosofi

Padepokan Filosofi Yasnaya Polyana kembali menyelenggarakan Penghargaan Filosofi Tridaya Upaya Karsa #4 sebagai bagian dari upaya menghadirkan pemikiran filsafat dan menolak monopoli filsafat oleh segelintir manusia sebagai kebenaran mutlak. Padepokan filosofi mengajak masyarakat untuk terus berpikir kritis terhadap segala perkembangan yang terjadi di lingkungannya. Dengan terus mengupayakan keseimbangan antara berpencerahan dengan pengetahuan dan berpenghidupan dengan bertani organik, Padepokan ingin menyemai intelektual organik sebagai Cahaya di Tengah kondisi kebangsaan yang butuh sentuhan filosofi dan intelektualitas yang jujur, berani dan menjembatani antara teori dan praktek sebagai bentuk praxis dalam kehidupan.

Bertempat di Sasono Joko Kahiman, Purwokerto, penghargaan kali ini mengangkat tema Intelektual organik sebagai upaya membendung demagog, Penghargaan kali ini dimaksudkan untuk memberi kritik terhadap cara berpikir dan bergerak bagi ntelektual yang ada di perguruan tinggi umumnya. Kritik berpikir yang dibangun adalah berpikir berdasarkan kehidupan sehari-hari dengan kaum muda yang mempunyai kecerdasan di dalam masyarakatnya agar mereka mendapat ruang berkarya dan berkesinambungan kemauannya. Intelektual harus mampu menjadi lokomotif yang mendorong kebangkitan berpikir kritis dan rasional. Kondisi ini semakin dituntut karena telah terjadi banyak anomali yang terus dipertontonkan di ruang-ruang publik, mulai dari persoalan pendidikan, pertanian, politik, hukum, hingga kebudayaan dan masalah kemauan (karsa).

.Kita mengharapkan hadirnya intelektual menjadi pemimpin di masyarakatnya yang tidak hanya sekedar berpikir teknis dan juga praktis, namun bisa kritis dalam praksis gerakannya dan berkesadaran untuk tidak tergiur pada kekuasaan dan membangun keseimbangan antara individu dan msyarakat agar memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal. Di sinilah intelektual organik harus bersuara lantang menyuarakan kebenaran, utamanya dalam mengangkat derajat manusia Indonesia untuk terlepas dari jerat jaring kebodohan dan pembodohan akibat kebohongan publik para demagog sehingga tidak memunculkan demagog baru. Tak mungkin hanya bergantung pada perguruan tinggi maupun mengharap rakyat yang hidupnya subsisten memulai perubahan. Namun sinergi antara intelektual kampus dengan intelektual yang ada di rakyat adalah hal mendesak untuk dilakukan menjadi kesatuan dalam intelektual organik yang menghadirkan rakyat sebagai subyek yang cerdas, bukan obyek pembangunan maupun kebijakan dengan salah satu cara menggiatkan literasi dalam arti luas; membaca, menulis, meneliti secara obyektif dan falsifikatif.

Dalam Orasi Kebudayaannya, Ashoka menegaskan bahwa Kebodohan dan pembodohan sebagai sumber dari segala bentuk kesengsaraan dan kemunduran peradaban. Intelektual organik sudah semestinya ikut berperan untuk membuat rakyat menjadi cerdas sebagaimana amanat dalam preambule UUD 1945 menjadi bangsa yang Merdeka. Dengan adanya bangsa yang cerdas bukan saja bisa membongkar (dekonstruksi) namun juga dapat merekonstruksi yang sampai saat ini setelah reformasi kita belum mencapai hal tersebut khususnya dalam Pendidikan politik bangsa maupun berorganisasi.

Ia juga menekankan beberapa teori dari para filsuf seperti Gramsci, Julian Benda, Immanuel Kant dan juga Socrates. “Untuk intelektual organik dalam pemikiran Tridaya Upaya Karsa, justru yang diupayakan karsanya lebih kuat dikalangan massa agar berkesadaran tentang apa yang akan dilakukan dengan sikap batin eling lan waspada, bukan menjadikan keyakinan buta yang menjadi satu-satunya keyakinan tanpa proses musyawarah dan mufakat terus menerus untuk itu diperlukan revolusi mental dari dalam dirinya”,terang Ashoka. Menurut Ashoka empat proses tahu Socrates perlu dijelaskan lebih kontekstual dengan masyarakat kita dengan yang kelima yaitu ada proses tidak mau tahu, mengubah apa yang aku tahu adalah aku tidak tahu, menjadi apa yang aku tahu adalah aku tidak mau tahu, yang berkembang selama ini di masyarakat. Inilah persoalan yang harus diadvokasi untuk proses tahu yang kelima tersebut.

Penghargaan Filosofi Tridaya Upaya Karsa berusaha menghargai kemauan dan keberanian bukan hanya untuk berkarya bagi kepentingan individu dan kelompoknya namun juga berkesinambungan (sustainable will) bagi manusia. Penghargaan Filsofi ini juga berupaya kuat agar Banyumas khususnya dan Indonesia pada umumnya terus menyalakan api kritisisme dan beradvokasi filosofi bagi sesama manusia melalui literasi dalam masyarakat agar tercipta keterbukaan dan mobilitas vertikal dalam kepemimpinan yang bukan dinasti dan (neo)feodalisme, dan bukan budaya kebo nusu gudel.

Empat penerima penghargaan tahun ini adalah I Komang Artanaya, Evi Subekti, Surya Esa, dan Amanda Suharnoko. Semuanya memiliki peran-peran memajukan kehidupan lewat jalan sunyi masing-masing dan terus berupaya karsa untuk menularkan energi positif-filosofis bagi kemajuan manusia. Acara ini juga mendapat dukungan yang baik dari Pemerintah Kabupaten Banyumas, selain itu support dari anak-anak muda yang pernah belajar di Padepokan yang kini harus rela menjadi buruh migran namun berencana ke depan menjadi intelektual organik juga turut membantu penyelenggaraan kegiatan ini, terang Warseno selaku ketua panitia kegiatan.

Di sisi lain, narasumber dari UMP dan Unsoed yakni Dr. Lendra Yuspi J. Geasill dan Tuti Purwati, S.S.,M.Pd menjabarkan pengalamannya atas persoalan-persoalan yang dihadapi intelektual perguruan tinggi melihat perkembnagan budaya yang semakin luntur etika sosialnya seperti budi pekerti dan juga perubahan mentalitas dari yang tadinya non material menjadi sangat materialistik./sen