selamat datang di yasnaya polyana indonesia
Pancasila
Tantangan Epistemologis atas Substansi
OPINI
Ashoka
11/20/202510 min baca
Pendahuluan
Berbagai bahasan Pancasila dari zaman ke zaman menjadi semakin tarik menarik diantara kepentingan yang dilatarbelakangi mazhab-mazhab masing-masing kepentingan dan kelompok. Kalau kita ingat sejarahnya saja ketika Pidato 1 Juni 1945 dikumandangkan oleh Soekarno maka kita tidak ragu lagi itu sebagai Dasar Filosofis Bangsa dan Negara. Bahwa negara baru yang dibentuk itu berdasarkan republik itu menjadi urusan yang tersendiri, tapi dasar filosofis sebagai penuntun haruslah diingat dan dirancang untuk menjadi idiologis dan praktikal. Tarik menarik nya ini tentu mempunyai arti positif sekaligus negatif. Di satu sisi Pancasila dianggap elastis sehingga mampu menyesuaikan diri dalam perkembangan zaman tetapi sekaligus juga menyerempet bahaya untuk menafsirkan dan ditafsirkan fihak lain dengan maksud mengubah hal yang substantif.
Sebagaimana Demokrasi yang cikal bakalnya telah lahir hampir 2500 tahun lalu di Yunani pada zaman jayanya Pericles dan sekaligus dibunuhnya sang filsuf Socrates dalam kandang demokrasi menjadi ironis sebuah peradaban yang tampaknya besar ternyata menghadapi seorang yang berpikir kritis seperti Socrates dengan tidak beradab dan harus memaksanya untuk menarik pemikirannya yang kritis dalam suasana yang disebut demokratis itu sendiri. Ini tragedi pertama dalam sejarah demokrasi yang selama ribuan tahun timbul dan tenggelam akibat intrik politik kaum sophis dalam Negara Kota Athena. Kita pun dengan Pancasila selalu penuh penafsiran sophis atas ajaran yang begitu elastis sebagaimana demokrasi itu sendiri yang menghasilkan variasi sistim politik di dunia. Unsur yang dibunuh dalam demokrasi semasa Socrates adalah perihal kehidupan etis manusia yaitu apa yang dianggap baik secara konkrit.
Karena itu mampukah kita menempatkan Pancasila sebagai landasan filosofis sekaligus konkret dalam arti etis kenegaraan dan kebangsaan. Tanggung jawab setiap warga untuk belajar mengkonkretkan Pancasila tanpa menghilangkan arti substansial itu dalam kehidupannya berbangsa sudah menjadi tautologis, tetapi sejauh manakah pilihan etis dan pengutamaan kebersamaan berbangsa yang dipakai oleh keanekaragaman budaya. Dalam soal bahasa kita berhasil mengkonkretkan komunikasi satu bahasa kebangsaan yaitu bahasa Indonesia, prestasi luar biasa dalam suatu negara yang pluralis dibanding negara pluralis lainnya.
Latar Belakang Historis
Kalau kita sekilas melihat di atas secara luas, kita memiliki kekayaan pemikiran filosofis Pancasila yang luar biasa. Tetapi kita belum selesai mendialektikakan walaupun dengan tujuan akhir adalah harmoni. Kita ambil contoh di India yang juga pluralis secara geografis, kasta dan suku berikut bahasanya masing-masing, konflik internal yang tidak mungkin dihindari menyongsong kemerdekaannya. Pada saat yang sama tokoh-tokoh filsafat modern India muncul dengan satu tujuan menjawab kesatuan bangsa yang utuh nasional, di antaranya Rabindranath Tagore, Vivekananda, Mahatma Gandhi, S.Radhakrisnan, J.Nehru, semua mereka sanggup mensintesakan pemikiran India kuno yang sudah mengakar ribuan tahun ke dalam proses perjalanan bangsa yang mengikis sisa-sisa feodalisme, konsumerisme asing, dan sekuler melalui ajaran apakah itu Ahimsa, Satyagraha, Swadeshi, dan Nasionalisme.
Di Indonesia pemikir filosofis kebangsaan yang menonjol hanya Soekarno ketika sidang yang dipimpin oleh Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat bertanya tentang Philosofische Grondslag, tanpa mengurangi kesempatan pada yang lainnya Soekarno mengajukan pemikiran filosofisnya. Dalam artian ini, Soekarno berusaha keras mengajukan dialektika berpikir antara yang sudah ada dengan yang harus ada menghadapi tantangan negara yang akan merdeka. Untuk membaca tanda-tanda zaman tersebut diuraikanlah Pancasila walaupun akhirnya pada perjalanan sidang menjelang Proklamasi ada perbaikan urutan sila-silanya tapi secara substansi tetap lima sila yang diperas menjadi trisila dan eka sila, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, boleh dikatakan ini menjadi Idiologi Berbangsa dan Bernegara, bukan sekedar declaration of independence ataupun Proklamasi, tetapi ada yang lebih substantif dari sekedar pasal atau ayat-ayat undang-undang dasar.
Idiologi
Semua ulasan di atas baik dari latar belakang sejarah dan pandangan umum dari sebuah bangsa dapat disimpulkan perlu sebuah weltanschauung atau katakanlah sebuah cita-cita yang akan dicapai dan ini dirumuskan dalam sebuah konsep ide yang sering kita sebut dengan ideology, karena telah disusun sedemikian rupa agar sistematis filosofis dan mendasar untuk menjadi tatanan yang baku dalam menjalankan hidup berbangsa dikemudian hari. Pilihan atas idiologi yang ada atau yang baru dalam hal ini Pancasila di Indonesia sebagaimana idiologi di negara lainnya selalu sifatnya harus substantif dan universal, sedangkan hal-hal yang berkembang dalam ruang dan waktu biasanya bersifat partikular. Idiologi apalagi dasar filosofis suatu negara seperti dijelaskan di atas amat penting dan mendasar karena itu sering disebut sebagai sekali saja dalam sejarah suatu bangsa, einmalijk. Sebuah ide menjadi cita-cita dalam wujud ideologi memang sifatnya substantif dan tidak perlu dipermasalahkan lagi, karena kita harus komitmen pada terbentuknya sebuah bangsa yang bukan karena ras atau agama mapun suku tapi pada sebuah hasrat untuk hidup bersama, le desire d’etre ensemble.
Karena idiologi pada dasarnya substantif maka setiap meragukan hal yang substantif berarti sama saja dengan keinginan mengganti hal yang substantif tersebut. Tidak mungkin secara logika mengganti fondasi rumah tanpa merobohkan rumah tersebut. Bangsa Amerika tidak mungkin meragukan lagi apa yang sudah disepakati dalam Declaration of Independence nya, atau Bangsa Inggris meragukan Monarchy, atau Bangsa India dengan meragukan prinsip-prinsip yang telah ditanamkan oleh Gandhi dan Nehru, semua itu hal yang substantif, kecuali dengan sengaja atau tidak sengaja karena pemahaman dan wawasan filosofis seseorang atau sekelompok orang yang tidak sesuai dan tidak mengerti hal yang substantif tadi maka dengan cara evolutif dan revolutif berniat mengubah nilai subtantif itu.
Demikianlah mudah sekali kita melihat ciri-ciri sebuah bangsa apabila dalam keadaan tidak sehat atau sudah menjelang rapuh dan keropos dari dalam dengan cara mengamati sampai sejauh mana tingkat keraguan warganya atas ideologi yang dianutnya. Apabila opini publik lewat surat kabar, lewat pembicaraan intelektual , apalagi opini rakyat sudah ikut tidak mengerti arti substansi yang seharusnya dengan sendirinya sudah menjadi bagian dari hidupnya justru ikut meragukan ideologi tersebut secara substantif, maka semua ini akan menjadi distorsi dalam kehidupan berbangsa, tidak dapat membedakan mana yang substansial dan partikular, mana yang kuantitas dan yang kualitas, sampai sejauh mana yang kuantitas dapat menyebabkan perubahan kualitas, atau yang partikular menyebabkan yang universal dan begitu pula untuk sebaliknya.
Bagi Uni Soviet dan RRC yang begitu ketat substansi ideologinya hanya dibicarakan lewat politbiro atau elit partai sebagai diktatur proletariat atau kongres partai yang memiliki nomenklatur untuk membahas perlu tidaknya ideologi secara substansial dirubah. Dengan glasnost dan perestroika memang secara substansial berubahlah filosofi Negara Uni Soviet dengan keberanian dan kesiapan bangsa yang sudah dibangun secara kualitas sumber daya manusianya. Di RRC secara substansial tidak dirubah tetapi secara partikular harus berubah dan inipun tidak dibicarakan oleh manusia-manusia yang tidak mengerti hal ideologi secara substansial dan partikular. Semua sudah diandaikan dimengerti dan diterima oleh rakyat dan memang secara partikular dalam kehidupan terasa seluruh unsur-unsur negara hadir dalam kehidupannya, jelas keberpihakannya dalam kehidupan yang terkecilnya.
Pancasila sejak 1 Juni 1945 dikumandangkan sebagai dasar yang substansial memang terus menerus diterima oleh masyarakat dalam suasana yang dibutuhkan, tetapi selalu secara substansial dibicarakan terus menerus seolah-olah ada ketidak-ikhlasan seperti proses perkembangannya hingga diterima secara sah sebagai dasar negara pada 18 Agustus 1945, dengan pedebatan berbagai rupa termasuk soal Jakarta Charter. Bahkan tidak berhenti disitu masih dilanjutkan hingga saat ini, mulai ada Nasakom, Manipol Usdek, Demokrasi Pancasila, Kesaktian Pancasila, P4, Orde Baru, Reformasi, yang semua menempatkan Pancasila hanya sebagai pseudo-ideology bukan sebagai substansi dengan keuniversalannya. Apapun alasan dan sebutan untuk hal yang substansial seharusnya tidak hanya diterima begitu saja menjadi hal yang mistis tetapi dengan penuh kesadaran pentingnya hal substansial tersebut.
Betul dikatakan Idea tidak pernah akan mati, tetapi kalau idea itu tidak bisa dihubungkan dengan kesadaran dan pemahaman atas kegunaan tujuan nya sebagai apa yang dicita-citakan tentu akan menjadi usang, sampai ditemukan kembali pada zaman yang memang dirasakan akan diperlukan dan dikembangkan sebagaimana riwayatnya idea dan cita-cita demokrasi tumbuh dan tenggelam.
Epistemologi sebagai Kekuatan
Substansi tidak berdiri tanpa sebuah pengalaman riil, atau dapat dikatakan semua substansi selalu berakar pada pengalaman riil tertentu walau bukan diartikan harus dibangun atas dasar pengalaman riil sebagaimana dengan membangun ilmu pengetahuan. Disini lah kita perlu suatu bagaimana memahami substansi itu sendiri, bagaimana mengetahui sesuatu, bagaimana menjadi tahu tentang sesuatu dengan proses investigasi, inilah tugas atau arti dan kekuatan yang dinamakan epistemology (episteme=knowledge dan logos/logy= reason). Tanpa kita menyadari kekuatan epistemology untuk proses pemahaman atas substansi maka substansi akan kehilangan sejarah dan konteks kesadaran yang empiris.
Dalam epistemologi secara umum kita mengenal dua kelompok besar sebagaimana dalam substansi terdiri atas Idealism dan Realism begitu pula dalam epistemologi dalam meneropong ada Rasionalisme dan Empirisme. Tanpa keduanya tadi kita akan menjadi bingung untuk menyorot substansi mana yang kita mau pahami. Dua kelompok ini tentu bisa berdialektik untuk selalu memperbaharui pandangannya partikularnya atas substansi itu sendiri.
Semua ini tentu untuk mengarah pada kebenaran. Pendapat klasik sering kita dengar kebenaran adalah persesuaian antara ide dan kenyataan ( veritas est adequatio intellectus et rhei). Secara singkat sedikit sudah disinggung oleh Soekarno bahwa ia bukanlah penemu tapi penggali dari nilai-nilai yang sudah lama ada dan diangkat (aufgehoben) menjadi Pancasila, bahkan cara Soekarno mengatakan kelima sila bisa diperas menjadi trisila dan diperas lagi menjadi ekasila sebetulnya sudah membuka sebuah diskursus filosofis yang substantif tadi diatas, walaupun tidak pernah dalam benaknya ingin mengubah menjadi ekasila dan tetap secara substansi itu Pancasila.
Bagaimana Soekarno menjelaskan dalam kursus Pancasila di Istana Negara tentang perjalanan Pancasila dalam perkembangan sejarah bukan saja nasional tapi mencakup fenomena perkembangan sejarah peradaban dunia bahwa Pancasila tetap dapat eksis secara idea. Dalam pemikiran epistemologisnya ia ingin Pancasila dapat hadir dengan pemahaman kesadaran secara epistemologis agar Pancasila dapat menjadi milik dunia sebagaimana Ahimsa, Demokrasi, San Min Cui.
Analisis Kritis
Sekiranya saja di lingkaran Soekarno bukan hanya politisi dan intelektual yang kecenderungannya mengangguk-angguk saja tentu akan terjadi proses perjalanan epistemologis atas Pancasila yang lebih kritis. Salah satu proses analisa kritis yang menjadi bahan kelucuan intelektual adalah ketika seorang politikus ketika itu sebagai sloganis nasionalis menyatakan bahwa Pancasila adalah “alat” pemersatu maka dari fihak propaganda lawan politik menyatakan: “ya setelah bersatu nanti kita tidak perlu Pancasila lagi”. Hal-hal seperti ini sebetulnya perlu pembahasan epistemologis bukan sekedar menjadi slogan ini dan itu sehingga Pancasila diturunkan dari substansi universal menjadi hanya partikular bahkan jadi hanya “alat” propaganda bukan cita-cita yang sepanjang masa harus menjadi pencerahan bangsa.
Diperlukan analisa ilmu yang kritis bukan sekedar ilmu biasa, sosiologi kritis, ekonomi politik yang kritis, mass-psychoanalysis yang kritis juga, ilmu agama yang kritis, sehingga semua ini akan dilakukan pengamatan atas realitas yang berkembang secara partikular di masyarakat kita bukan dengan cara yang verifikatif saja, atau meneliti kebenaran dengan mencari yang membenar-benarkan saja tetapi seharusnya juga dengan kritis dan ketajaman dialektis melihat gejala masyarakat secara falsifikatif dengan kritis menguji sesuatu asumsi dan mengajukan hal-hal yang menyalahi agar semua peristiwa terbuka dalam masyarakat. Betul pada masa Soekarno belum terlalu popular untuk mengajukan kritisisme seperti itu tetapi setidaknya Soekarno sudah membuka diskursus sedemikian itu hanya saja ilmuwan-intelektual masih menggunakan pendekatan verifikatif semata.
Dengan diajukannya diatas beberapa pertentangan berpikir bukan berarti kita mengajukan dualism atau dichotomy berpikir, justru dengan adanya dialektika kritis tadi akan terbangun sebuah epistemology dan kritisisme yang synthesisdari perkembangan partikular-partikular yang ada. Tujuan dari setiap dialektik kritis tadi tidaklah lain adalah Perubahan yang lebih baik, karena kata perubahan sudah sedemikian dijadikan substantif maka tidak mungkin ada perubahan, padahal yang kita inginkan adalah perubahan yang harus menyesuaiakan pada substantif. Setiap sila dari kelima sila Pancasila merupakan kekuatan substantif dan perubahan yang dilakukan justru setelah kita melihat realitas yang menjauh atau menjadi jauh dari substansi harus diteliti dan dirubah. Perubahan di berbagai tingkat dan gejala sosial bukan yang kita cita-cita kan waktu merdeka harus kita periksa sinkronisasi dengan perubahan yang kita inginkan. Peranan dan kekuatan epistemologis sangat besar diperlukan untuk menyelamatkan Pancasila itu sendiri sebagai substansi universalitasnya.
Hipokritas atau Kemunafikan
Sebelum menghancurkan suatu bangsa biasanya frame of thinking fihak lain yang terlebih dahulu dimasukan secara halus langsung maupun tidak langsung ke dalam suatu wilayah Negara, banyak contoh sejarah sebelumnya membuktikan bahwa dengan cara kebudayaan lebih mudah menggerogoti kekuatan orang atau bangsa lain.
Di kalangan intelektual muda sudah disebarkan cara berpikir postmodernisme dan mengarah pada neo-liberalisme, nilai-nilai life style snobisme mengarah dan mengubah kehidupan ke arah konsumtivisme. Kita dibuat seolah teralienasi atas kemampuan diri kita sendiri dalam pergaulan bangsa-bangsa tanpa kita sadari kita menganggap cita-cita kita waktu merdeka menjadi ahistoris, termasuk di dalamnya dasar kebangsaan kita, Pancasila
Semua tanpa disadari kita menjadikan diri kita dikhotomi dalam bertindak karena pengaruh pseudo-idiology tadi berupa life-style yang cosmopolit padahal kita mengulangi keterjajahan diri kita atau menjajah hak-hak atau kesempatan orang lain. Banyak contoh bisa kita lihat sekarang bentuk dikotomi tersebut, sampai pada tingkat yang terendah bahwa semua pimpinan boleh saja berpidato lain dengan apa yang kenyataan dikerjakan. Seolah negara kita demokrasi padahal feodalistik dalam arti modern kalau sudah duduk tidak mau turun, kalau sudah pintar membiarkan orang lain tetap bodoh. Semakin tajam lagi hal-hal yang inkonsistensi menjadi hal biasa. Satu persatu sila dapat kita analisa kritis dalam inkonsistensi realita.
Kalau analisa kritis tidak dilakukan akan mustahilah kita menghadapi inkonsistensi realita yang ada terhadap Pancasila yang menjadi pedoman hidup dan cita-cita berbangsa, dan semua akan menjurus ke arah kehidupan kemunafikan sosial karena di satu sisi kita mengatakan sudah semakin banyak program mensejahterakan bangsa tetapi tidak pernah mencapat apa yang disebut keadilan yang beradab. Kemunafikan lain pendidikan tinggi semakin banyak gelar tetapi semakin banyak pengangguran “intelektual”. Hal ini akan terus menjadi bom waktu ketidakpuasan sosial bahkan apa yang sudah menggejala adalah frustasi sosial, karena bukan kritis menghadapi penderitaan hidup justru diiming-iming mimpi indah dalam sinetron maka terbentuklah manusia-manusia yang berilusi. Pemerintah yang seharusnya memerintah dan mengayomi justru diperintah dan minta diayomi.
Ini semua tantangan yang harus dihadapi dengan kekuatan epistemologis agar Pancasila tetap tidak terganggu dan diganggu sebagai ideologi yang sifatnya substantif. Diganggu dalam artian kecil tapi mendasar adalah pertanyaan dan pernyataan ‘apakah harus dengan Pancasila kita bisa makmur dan adil, perikemanusiaan, berkeTuhanan, dan sebagainya.Dengan realita yang sebaliknya, di berbagai Negara Barat dan Timur banyak yang makmur adil sentosa toh bisa tanpa Pancasila. Kita harus membangun masyarakat yang sehat dengan tidak bermuka dua bahkan dasamuka menjadi satu muka yang tidak teralinasi dan frustasi maupun ilusi melainkan masyarakat yang berimajinasi dan kreatif berpikir yang historis dan logis, sintesis dengan tujuan perubahan yang jelas dan baik.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pertama, seluruh kekuatan untuk membahas realita harus dikerahkan dalam berbagai bentuk kegiatan yang sifatnya konsientisasi dalam sosialisasi untuk menghindari kesan indoktrinasi.
Kedua, kekuatan itu juga secara epistemologis sangat diperlukan untuk memperkuat pembuktian-pembuktian partikular yang memperkuat substansinya yang universal.
Ketiga, cara epistemologis bekerja harus dimungkinkan dengan tidak saja verifikatif tapi juga falsifikatif untuk mencegah bertambahnya kemunafikan di kehidupan bangsa ini.
Keempat, bentuk untuk penyadaran atas realita Pancasila haruslah dengan gerakan. Dan gerakan yang diperlukan adalah lebih pada gerakan kebudayaan dalam arti luas di segala tatanan yang ada.
Kelima, gerakan kebudayaan diharapkan bersifat kritis dan kreatif bukan mengulang-ulang hal romantisme masa lalu saja tapi menyongsong hal-hal yang futuristik seperti dimensi kemanusiaan dan semacam kebangkitan renaissance. Kita harus menempatkan manusia sebagai sentral yang dihargai eksistensinya tapi bukan menjadi egoistik-oportunistik.
Keenam, dengan gerakan kebudayaan yang kritis maka kita dapat mensosialisasikan Pancasila sebagai substansi lewat aneka media yang kreatif-kritis sehingga kehidupan yang semula sudah bernuansa Pancasila tidak menjadi pudar.
Ketujuh, dengan kehidupan yang bernuansa Pancasila kita bisa mempertahankan culture resilence atas kehancuran yang akibat kemunafikan dari atas maupun feodalisme. Untuk mempertahankan manusia yang beradab dan tidak menjadi chauvinistic kesukuan perlu dikembangkan cerita-cerita dan lagu-lagu lintas suku di Indonesia.
Kedelapan, yang harus kita bentuk bukan hanya vanguard of the constitution saja tapi juga vanguard of the Pancasiladengan cara konsientasi program kursus Pancasila di karang taruna dan kelompok ibu-ibu, penulisan dan sayembara di kalangan intelektual, psikologi perkembangan di kalangan anak untuk membangun karakter yang pancasilais.
Kesembilan, pemerintah harus didesak dengan fakta-fakta yang nonpancasilais agar ikut mengembangkan dirinya tidak diperintah atau diayomi kekuatan-kekuatan yang non-epistemologis dan nonpancasilais. Contoh begitu banyak yang menyangkut kepentingan publik yang tidak ada keberpihakannya yang paling mendasar adalah kualitas manusia pengguna transportasi umum yang tidak memperlakukan secara beradab.
*Tulisan ini dibuat sebagai hadiah kepada H. Muhammad Taufiq Kiemas saat akan dilantik menjadi Ketua MPR RI pada Oktober 2009
*Tulisan ini dimuat pada Buletin Sumber Edisi No. 14/April-Juni 2010
