selamat datang di yasnaya polyana indonesia
Intelektual Organik
Orasi Kebudayaan
OPINI
Ashoka
5/22/202513 min baca


Intelektual Organik[1]
Upaya Membendung Para Calon Demagog
Oleh : Ashoka Siahaan[2]
“Membaca adalah percakapan sunyi antara pikiran kita dan pikiran para pemikir besar”
-Leo Tolstoy
Seorang tidak akan pernah pergi jauh kecuali jika ia tidak tahu ke mana ia akan pergi.
-Oliver Cromwell
Situasi Manusia
Apapun bahasan di dunia tidak lepas dari sentralnya yaitu : Manusia. Tidak ada habis-habisnya persoalan hidup yang menyebabkan manusia sebagai sentral pemicu tumbuh dan berkembangnya semua ilmu manusia dan pengetahuannya termasuk teologi dan filosofia. Manusia menimbulkan peradaban dan kebudayaan sekaligus juga hancur karena ciptaannya sendiri. Apa yang diciptakan pada awalnya untuk menjawab masalah kehidupannya seperti mitologi dan astronomi menjawab dan menghambat kedamaiannya sendiri. Di sinilah masalah-masalah manusia menjadi dinamis dan pencariannya yang terus-menerus membawa peperangan langsung maupun tidak langsung yang sering setelah peperangan justru membawa penemuan baru karena keterdesakannya mengatasi kehancurannya.
Manusia yang menjadi makhluk unik dibanding makhluk lainnya masih misterius perkembangannya itu selalu ada jalan keluarnya karena manusia adalah “the spark of devine intelligence”. Banyak pendapat non agamis maupun agamis memperebutkan tafsir dari mana dimulai dan kapan manusia menjadi makhluk yang diwarisi percikan intelegensia Ilahi tersebut. Termasuk besar kecilnya percikan intelegensia itu yang menyebabkan ketegangan hubungan antar manusia satu dengan lainnya. Satu dengan lainnya ingin saling menguasai kehidupannya. Intelegensia yang tinggi merasa berhak menguasai yang lebih rendah tanpa memandang bahwa intelegensia yang tinggi justru tidak terpelas dari berpikir jangka panjang kehidupan manusia dalam peradaban dunia dengan damai dan kekuatan moralitas universal. Perjalanan peperangan dan penjajahan menjadi hal yang tidak manusiawi, tidak sejalan dengan perkembangan aktor intelektual yang positif ketimbang pemahaman intelektual yang sering dahulu berkonotasi negatif atau tak bermoral.
Manusia tidak dapat memaksakan atas nama orang banyak untuk menetapkan nasib orang banyak tersebut dalam waktu yang singkat tanpa musyawarah antara yang berintelegensi tinggi dan rendah menurut ukuran umum. Betul memang manusia tidak sama kemampuannya satu dengan lainnya, tapi manusia tetap mempunyai martabat yang sederajat apapun latar belakangnya. Kita tidak bisa menolak bahwa sekelompok manusia seperti filsuf-filsuf lahir melalui tempaan kehidupan zamannya yang banyak bermanfaat buat kehidupan manusia seperti lahirnya demokrasi, Perserikatan Bangsa-Bangsa Konvesi Jenewa, pemikiran ekologi, penghargaan terhadap kepemilikan individu, hak-hak berpendapat, bahkan usaha manusia menghapus hukuman mati, dan lainnya menuju kebahagiaan manusia,
Tentu seperti geraknya bumi yang terus menerus, manusia pun bergerak intelektualnya ada dalam bentuk yang phenta rei disamping ada yang tetap (perdebatan Heraklitos Vs Permenides). Sebagai contoh kehidupan manusia yang terus-menerus dihadapi ancaman dalam aspek yang tetap adalah roh yang sama dalam balut tubuh yang berbeda. Kalau dulu manusia terancam serbuan kolonialistik imperialisme langsung yang menguasai fisik wilayah, sekarang penguasaan langsung dengan “roh” yang sama dengan serbuan mentalitas manusia konsumtif, manusia mekanis anti intelektual yang bermoral. Bentuknya memang merdeka ketimbang terjajah seperti dulu, tapi rohnya tetap menguasai dengan mental yang terjajah, dalam berbagai bentuk apakah itu transfer of knowledge, technology, culture, kemudian menjadi one dimentional man seperti sudah lama disebutkan filsuf Herbert Marcuse. Kita pun dulu sudah melontarkan ini dengan istilah neokolonialisme-imperialisme (nekolim) yang mengubah dari negara jajahan lalu merebut kemerdekaan. Tapi “roh” manusianya tetap terjajah.
Perjalanan Terang
Kebodohan maupun pembodohan adalah Gelap dan Penggelapan. Sangat terkenal sekali dalam sejarah dunia ada suatu babak yang disebut zaman atau abad kegelapan. Kita menemukan di sana apa yang disebut Philosophia ancila Teologia oleh gereja Roma yang menjadikan filsafat sebagai alat bukan untuk pencerahan berpikir yang akhirnya oleh Immanuel Kant memasuki zaman aufklarung (pencerahan) bahkan diinspirasikan zaman Renaessance yang menempatkan manusia kembali pada kebebasannya berkarya. Dalam orasi tahun 2024 berjudul Kebuntuan Intelektual sudah dijelaskan dengan pembukaan bahwa intelektual adalah segalanya, apabila mampu dengan baik segalanya, semua mempunyai satu tujuan untuk berbuat baik antara manusia dalam kehidupannya tanpa diantaranya memandang ras, agama, ataupun suku. Walaupun sampai saat ini sudah banyaknya perguruan tinggi toh kebuntuan itu menyebabkan kegelapan karena kompleksitasnya pemahaman intelektual hanya satu visi membuat pandangan holistik Tri Dharma Perguruan Tinggi tereduksi dalam over specialization dan akhirnya amat sulit menjembatani antara individu dan masyarakat.
Dalam perjalanan sejarah manusia itulah gelap dan terang sejalan dengan perjalanan intelektual dalam berbagai bentuknya. Dikatakan gelap apabila ilmu pengetahuan dan geraknya hanya ditentukan oleh sekelompok dan segelintir manusia yang berkuasa dalam berbagai bentuk sehingga terang jauh dari manusia kebanyakan. Monopoli ilmu pengetahuan, monopoli kekuasaan akan membuat kegelapan bukan jalan terang. Jalan terang harus dicapai lewat pengembangan individu dan masyarakat, bukan individu dimasyarakatkan, maupun masyarakat diindividualkan. Tarik menarik antara individu dan masyarakat yang selalu mengubah sejarah ilmu maupun kehidupan manusia, yang menjadikan eksistensialisme Soren Kierkegard yang harus dihargai keunikannya dalam menghadapi individu dengan ego yang menguasai individu lainnya dalam bentuk kekuasaan di berbagai bidang termasuk ilmu pengetahuan (pendidikan), ekonomi, politik, dan gaya hidup manusia. Ortega Y. Giaeset dalam bukunya The Revolt of The Masses menjelaskan beberapa sekelompok manusia sebagai pemimpin tentunya (trendseter) dapat membuat life style massa sehingga menjadi gelombang massa yang digiring untuk mengubah gaya atau pemikiran yang terang menjadi gelap. Kehidupan konsumtif menjadi mass-consumption sebagai rumus life style yang pseudo terang (seolah-olah terang) padahal gelap. Makanan konsumsi bayi menjadi perubahan besar massa dalam life style modern yang belum tentu sehat. Kelihatannya terang oleh segelintir orang tetapi gelap bagi banyak orang. Daya intelektualitas manusia yang seharusnya bisa melampaui segala teori, terjebak dalam pemahaman penemuan sepetak gedung perguruan tinggi yang tidak peka dan dinamis. Dengan penemuan dan penyerapan Kurikulum Merdeka dalam arti terang dan menerangkan sesama manusia, akhirnya berubah untuk segelintir manusia saja. Merdeka agar anak didik bisa bertumbuh secara organik dengan penemuan dan kreativitas bebas menemukan kebenaran dalam kehidupan sehari-harinya menjadi tertuju kepada kepentingan kelompok yang menggelapkan cita-cita terang sebagai tujuan kampus dan sekolah merdeka. Semua akhirnya mengalami redefinisi, kurikulum merdeka belajar menjadi kurikulum yang harus disesuaikan dengan kebutuhan tenaga yang diperlukan industri.
Jalan terang memang butuh perjuangan panjang dan sering kali berulang-ulang seperti Sysiphus dalam mitologi Yunani. Tetapi kita tetap berpegang pada sustainability alam dan manusia yang secara organik mampu menyelamatkan bukan hanya diselamatkan oleh pikirannya sebagai percikan Ilahi (The Spark of Devine Inteligence) agar yang gelap tidak boleh menguasai yang terang.
Organik dan Karsa
Perjalanan intelektual yang tadi dijelaskan naik turunnya karena hidup dan berkembang dalam batasan bentuk dan ruang, bukan isi yang menjadi roh dari intelektual itu sendiri, dan dari abad ke abad sama yaitu organik yang tumbuh dalam kehidupan lingkungan alam dan masyarakat yang kaya dan tak ada habis-habisnya. Orang sering menyebutkan bahwa sesungguhnya kebodohan itu menyebabkan penderitaan, hanya saja penderitaan itu bukan kata akhir menjadi kegelapan. Ia bisa beralih menjadi terang karena mengerti akan kehidupan (organik) yang terus berkembang dan berkesinambungan dengan harapan adanya kreativitas yang sifatnya berusaha menemukan jalan keluarnya. Dalam Masyarakat di mana sudah tidak organik maka kemapanan justru membuat kemandegan manusia itu sendiri. Di seluruh dunia mapan (established country) segala yang sama (revolt of the masses) baik itu seniman, penulis, komponis, mengalami kemandegan, kehabisan kreativitas kemanusiaan (kecuali teknologi) untuk berkarya secara organik (kehidupan kreatif) dan bukannya experimental mekanis. Bukan kita membenarkan bahwa orang perlu ada penderitaan lalu melahirkan tokoh penulis besar seperti Erich Hoffer, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, N.H. Dini, dan lainnya. Hanya saja penting kita mempelajari proses kreativitas mereka yang mampu mensublimasi penderitaannya menjadi karya sehingga dikenal khalayak banyak menjadi terang atas kegelapan seperti tulisan R.A. Kartini, Habis Gelap terbitlah Terang. Penderitaan manusia itu harus dihargai karena karsa (kemauan) mereka yang kuat mampu memberi makna penderitaannya, dan tumbuh terus dengan penuh harapan sekaligus untuk menyehatkan kehidupan masyarakatnya (organik).
Berbicara tentang intelektual tidak terlepas dari dua pemikir besar. Pertama, Julian Benda mengenai “penghianatan intelektual” (La Trahison des Clercs) yang mengingatkan para intelektual agar tahu dan sadar tugas dan tanggungjawabnya untuk kehidupan manusia. Kedua, Antonio Gramsci, yang banyak dikenal bicara tentang intelektual yang menggerakkan masyarakat. Ia menyatakan bahwa intelektual itu ada pada diri setiap orang, tapi baginya amat tidak mungkin masyarakat (massa) untuk bergerak spontan. Ia menyangkal bahwa perkembangan sejarah itu otomatis atau tidak terelakkan. Massa untuk bertindak harus menaydari situasi mereka dan watak masyarakat di mana mereka hidup. Massa perlu mengembangkan ideologinya, tapi mereka tidak akan mampu mengembangkannya sendirian. Gagasan (revolusioner) menurutnya dicetuskan oleh intelektual, lalu dikembangkan kepada massa dan massa itulah yang akan melaksanakannya, karena mampu menghayatinya, tetapi tidak mampu membangkitkan gagasan. Setelah gagasan itu muncul ia akan menjadi satu-satunya keyakinan mereka. Dengan kata lain massa memerlukan bantuan elit sosial. Gramsci sebetulnya ingin mengetahui bagaimana cara beberapa pemikir bekerja demi kepentingan kapitalis, mencapai kepemimpinan kultural dengan persetujuan massa (Teori Sosiologi Modern, George Ritzer, 167-168, 2014). Gramsci yang secara tidak langsung menggunakan pemikirannya tetang hegemoni; praxis dan “intelektual organik” itu.
Kita akan sedikit membahas persamaan dan perbedaan yang dimaksud dalam paper ini lebih kurang sama dalam hal intelektual organik yang merupakan elit sosial yang membantu dibangkitkannya suatu gagasan kepada massa, kalau bahasa Socrates “membidani” (meutika) walau agak berbeda pada metode dialektikanya. Untuk intelektual organik dalam pemikiran Tridaya Upaya Karsa, justru yang diupayakan karsanya lebih kuat dikalangan massa agar berkesadaran tentang apa yang akan dilakukan dengan sikap batin eling lan waspada, bukan menjadikan keyakinan buta yang menjadi satu-satunya keyakinan tanpa proses musyawarah dan mufakat terus menerus. Socrates dengan metodenya meutika sifatnya membidani bukan menghamili gagasan itu. Tidak dipungkiri bahwa akhirnya sekelompok kecil atau seseorang yang mampu mencetuskan solusi di masyarakat atau di lingkungannya, sebagai pemimpin ia harusnya bersifat sementara karena perlu menularkan kemampuan intelektualnya kepada orang lain. Ini menandakan intelektual itu membangun dan menekankan karsa kelompoknya sebagai apa yang akan kita sebut sebagai intelektual organik yang lahir dari proses mengatasi masalah di lingkungannya dengan karsa (kemauan, elan vital) dalam kelompok maupun individu. Usaha seperti ini menjadikan karsa yang membangun jembatan keseimbangan antara individu dan masyarakat. Begitu pula gagasan Pancasila pada awalnya belum populer, tapi karena Lima Sila yang digali Bung Karno memang sudah hidup sebagai kearifan lokal Nusantara, yang sudah disesuaikan dengan konsep-konsep modern perikemanusiaan, dan keadilan sosial.
Yang diperlukan adalah intelektual organik yang rasional, dan membangun cara hidup yang rasional tidak harus mempunyai gelar formal dan lulus perguruan tinggi. Ketika terdapat intelektual organik yang mempunyai karsa bukan berarti harus “ditularkan” untuk berkuliah tapi harus menularkan untuk berkarya dan karsa yang berkesinambungan (sustainable will). Kearifan lokal yang tidak arif pun dapat diatasi dengan disiplin sosial, karena ada beberapa ungkapan yang sebetulnya menunjukkan perilaku sosial budaya kita yang “hangat-hangat tahi ayam”, menunjukkan tidak adanya konsistensi agar karsa menjadi sustainable will untuk mengembangkan intelektual organik di lingkungan masyarakat, dan nilai-nilai positif kearifan bisa terpelihara seperti musyawarah dan gotong-royong.
Selain intelektual organik berupaya menjembatani antara pemikiran individu dan masyarakat, juga bertindak menjembatani antara pemikiran (ide, teori, gagasan) dengan tindakan (praxis). Oleh karena itu pemikiran yang mampu menjadi tindakan adalah pemikiran yang dilahirkan berdasarkan watak masyarakat di mana secara organik pemikiran itu dilahirkan (empiris), kecuali bila itu kepemimpinan kultural yang dilaksanakan oleh kelas penguasa (hegemoni menurut Gramsci). Juga kehati-hatian dengan kemauan (karsa) yang kuat bukan sekedar menjadi romantisme revolusioner, tanpa kemampuan rasional yang dalam hal ini hanya mampu membongkar (dekonstruksi) tapi tidak sanggup membangun ulang (rekonstruksi). Segala sesuatu yang dipaksakan tidak secara organik akan menjadikan “hantu-hantu dalam pemikiran intelektual” dan “kebuntuan intelektual”, yang lebih parah lagi dalam perkembangannya melahirkan para demagog di segala lapisan masyarakat. Immanuel Kant mengumpamakan teori tanpa praktek sama dengan roda tanpa As, dan praktek tanpa teori bagai orang buta di tengah jalan berliku. Reformasi kita berada di jalan hukum yang berliku dengan roda tanpa As, karena terlalu banyak hegemoni seperti didefinisikan Gramsci sebagai kepemimpinan kultural yang dilaksanakan oleh kelas penguasa.
Intelektual organik yang dimaksud dalam Tridaya Upaya Karsa yaitu Tridaya (cipta, karsa, dan karya) tidaklah berhenti di situ melainkan berkelanjutan pada karsanya, yang dapat melampaui empat proses Tahu. Dalam proses tahu Socrates tidak terbayangkan akan ada proses tidak mau tahu, mengubah apa yang aku tahu adalah aku tidak tahu, menjadi apa yang aku tahu adalah aku tidak mau tahu. Ini kelihatannya seperti hal yang sepele, tapi sebetulnya amat berbahaya bagi perkembangan intelektual secara umum. Terutama apabila intelektual hanya ditafsirkan sebagai bagian dari Perguruan Tinggi tanpa memberi ruang gerak dan dukungan bagi intelektual yang hidup di pedesaan atau wilayah yang jauh dari sentralistik kota besar.
Penemuan Diri
Kita berharap besar dengan kemauan yang berkesinambungan di kalangan luar Perguruan Tinggi dapat menemukan kreativitas yang bebas bukan bertujuan untuk revolt of the masses (Ortega) ataupun social revolution(Gramsci). Harapan besar itu bukanlah tidak ada hambatan besar di tingkat massa yang selain bermental konsumtif, juga berdasarkan laporan internasional PISA (Programme for International Student Asessement) untuk kemampuan membaca, menulis dan matematika sungguh memprihatinkan dan memalukan karena kita berada pada urutan salah satu negara yang terendah kemampuannya. Bisa dibandingkan dengan India yang dianggap negara miskin, kemampuan dan minat baca terlihat dari jumlah buku yang dibaca satu buku per orang setiap bulan, sedangkan Indonesia satu buku per orang dalam setahun.
Kemauan membaca (bukan hanya kemampuan membaca dan membeli buku saja) yang menjadi hambatan atas harapan adanya intelektual organik. Kalau dijelaskan tadi perubahan masa harus dari elit sosial ataupun partai, lantas kualitas elit sosial dan partai seperti apa yang bisa diharapkan kalau daya karsa membaca dan menulis saja masih harus dipertanyakan. Seberapa kaya dan kuasa seseorang pun tidaklah mungkin mencangkok otak orang lain, apakah itu dari staff ahli atau khusus, kalau bukan elit sosial itu ikut membahas dalam dialog pemikirannya sehingga bisa terbangun sebuah pemahaman yang organik.
Kalau pengalaman mencapai ke arah pencapaian harapan ini bisa saja dianggap memakan waktu panjang atau evolutif, tapi kalau toh itu harus berjalan revolutif juga tidak ada bedanya, karena itu hanya perbedaan bentuk dan isi. Sebab yang bisa direvolusi hanya bentuk sedangkan isi selalu berjalan evolutif. Bagaimana proses untuk penemuan diri sebagai intelektual organik bisa dengan cara revolusioner dan menjadi progresif professional dalam mengubah bentuk melawan arus (against mainstream) ataupun pembangkangan sipil (civil disobedient) seperti Mahatma Gandhi. Sedangkan isi (konten) secara evolusi berjalan dalam musyawarah dan kemauan yang berkesinambungan (sustainable will) dapat menjadi penemuan diri bagi intelektual organik.
Jadi tidak ada yang harus dipertentangkan antara revolusi dan evolusi untuk penemuan diri. Persoalan Gramsci bahwa ada pemikir yang menggerakkan massa untuk menggerakkan revolusi sosial pun belum tentu berjalan, karena pertanyaan tadi yaitu dari mana harus dimulai dan bagaimana mempercayai pemikiran sekelompok orang untuk diterapkan kepada masa yang memang masih dibodohkan atau memang masih belum tersadarkan untuk membaca dan berkesinambungan kemauannya, sehingga akan menjadi korban para demagog penguasa ataupun pengusaha maupun intelektual konvensional.
Demagog ada di mana-mana, subur berkembang karena mampu melestarikan kebodohan dan pembodohan manusia yang tidak ada Karsa (kemauan) yang kuat untuk merevolusi dirinya dari kemalasan membaca dan menulis. Seperti dikatakan J. Khrisnamurti bahwa siapapun sanggup melakukan revolusi bukan harus melalui lembaga pendidikan, partai, atau bentuk formal lainnya tapi revolusi harus dimulai dari dalam diri sendiri supaya tidak terjebak oleh para demagog maupun menjadi calon demagog baru. Demagog itu virus bisa mudah menular apabila intelektual organik tidak melindungi dirinya dengan vaksin kemauan untuk tujuan cerdas membaca dan berkarya, seperti kutipan di atas dari Oliver Cromwell, “Seorang tidak akan pernah pergi jauh kecuali jika ia tidak tahu ke mana ia akan pergi”.
Bisa saja dalam perkembangan intelektual organik untuk memimpin dalam lingkungan budaya/cultural masyarakatnya dan menjadi kuat, kemudian menggodanya menjadi sewenang-wenang. Karena menurut teori evolusi yang menang adalah mereka yang kuat (survival of the fittest) dan ada proses adaptasi setelah natural selection (seleksi alam). Persoalannya yang kuat yang lolos secara fisik atau inteleknya?, dan adaptasi yang seperti apa kalau diterapkan dalam dunia intelektual?; apakah seorang intelektual harus beradaptasi dengan segala kebusukan sosial, budaya dan politik seperti yang disebutkan di atas sebagai hegemoni. Sangatlah tidak mungkin untuk mengelak dari sistem yang dibentuk di mana ia beradaptasi. Bagi yang tidak mau beradaptasi bisa menjadi intelektual organik seperti dengan kabur aja dulu atau memilih tidak kabur dan berevolusi diri dari dalam, eling lan waspada dengan mengolah problem sosial masyarakat di lingkungannya agar mampu berkelanjutan kemampuannya (sustainable will) agar tidak menjadi brain rotdan brain drained akibat banyak yang kabur aja dulu itu. Begitu kompleksnya persoalan manusia ini sehingga kita harus berkesinambungan untuk secara empiris mengatamati apakah yang kabur aja dulu itu yang lolos seleksi atau tidak mau beradaptasi. Dan apakah yang di dalam ini selain orang-orang (intelektual) yang sudah terhegemoni, yang mampu dan lolos dari adaptasi, dengan pengertian intelektual organik ini tidak mau beradaptasi tapi mampu survival dalam lingkungan kulturalnya, sehingga tempat wilayahnya tidak kehabisan orang yang bebas berpikir kreatif, berarti wilayahnya yang besar atau kecil tidak kehabisan pemikiran (brain drained).
Nah, ini kembali lagi bukanlah mempersoalkan orang-orang kabur aja dulu baru bisa menyelesaikan persoalan lingkungannya kalau toh mereka kabur aja dulu tapi tanpa membawa konsep ke depannya akan menjadi seperti apa pemimpin atau intelektual organik itu. Apalagi kalau mereka hanya mencari kemapanan materi semata tanpa mengubah sikap mental, paling tidak dengan membaca dan menulis pengalaman dan solusi untuk komunitasnya agar tidak brain rot. Baik itu yang kabur aja dulu dan menetap dulu sama-sama memiliki kebebasan sekaligus mengembangkan diri berguna untuk orang lain nantinya baik dalam lingkungan komunitas yang sudah ada atau yang akan dibentuk oleh mereka. Keberanian menjadi intelektual organik merupakan pencarian diri seseorang untuk memimpin walaupun dalam lingkup yang kecil sekalipun dengan tidak melupakan prosesnya yang demokratis, toleransi, rasional dan transparan dalam dialog diantara anggota dalam maupun luar masyarakatnya.
Langkah-langkah Maju
Semua langkah maju (move on) tentu sambil melihat langkah-langkahnya yang terdahulu agar tidak mengambil langkah reaktif sebagai intelektual organik yang sering menghadapi hal-hal langsung yang empiris, seolah-olah itu yang paling benar tanpa proses penganalisisan sosial, dan ini akan justru menjadi counter productive. Banyak hal dalam kehidupan menjadi masalah sosial yang sepertinya penuh kontradiksi. Banyak diberitakan dalam ulasan media surat kabar antara lain; begitu banyak mahasiswa yang berkuliah justru mengidap tekanan mental atau mental health, begitu banyak rumah sakit justru semakin banyak orang sakit, begitu banyak kampus berdiri semakin banyak orang yang mundur daya nalar sosialnya seperti disebutkan dalam penilaian internasioanal PISA itu, begitu banyak UMKM didirikan tetapi badan koperasi susah menguat. Semboyan kita yang dielu-elukan yaitu gotong-royong tapi kesadaran berorganisasi melemah.
Semua ini harus disadari baik oleh intelektual konvensional amupun organik bahwa pendekatan verifikatif tidak bisa lagi menuju pada kebenaran mutlak yang memaksakan obyek-obyek yang dianggap harus membenarkan pendapat, hipotesa, kebijakan yang menuju intelektual fallacy, karena tidak diimbangi dengan pendekatan falsifikasi yang lebih terbuka dan cocok untuk mempertajam daya pikir intelektual pada umumnya, terutama intelektual organik yang tidak terikat pada ketatnya pengujian ilmiah dalam mengambil keputusan atau paling tidak justru bisa menjadi wilayah pengujian teori-teori dalam kampus yang belum terbuka karena masih mutlak memakai metode verifikatif.
Selain itu kepada calon-calon intelektual organik amat cocok untuk bergerak di masyarakat dengan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) yang membuat pemetaan di suatu wilayah lebih terbuka secara demokratis asalkan ada keberanian berpikir dan obyektif dalam pengumpulan datanya.
Selain beberapa persoalan sosial yang dijelaskan di atas secara krusial sebetulnya perlu mendapat perhatian baik dari perguruan tinggi formal maupun masyarakat yang ingin mengerti untuk mengembangkan literasi di berbagai lapisan non formal. Kita masih berpengharapan besar, selain rasa pesimis mendengar rendahnya kemampuan intelektual kita oleh PISA, untuk membangun para intelektual organik di berbagai komunitas. Kita masih bangga mempunyai calon-calon intelektual muda seperti Pramuka (juga Saka Guna Aksara), karang taruna, para guru dan siswa SMK, sektor-sektor usaha informal, komunitas dan perkumpulan persilatan, komunitas hobi dan professional yang masih mampu mengembangkan dan dikembangkan mengarah pada kebebasan intelektual yang kreatif untuk praxis dalam kehidupan sekaligus mencegah suburnya para demagog baru dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Kepada mereka harus kita berikan harapan memperbarui dan mengimbangi dua sisi intelektual yang berbeda, menjembatani antara individu dan masyarakat, mengembalikan fungsi sosial yang salah karena hanya menuntut hak tanpa tanggungjawab, karena way of life kita Pancasila tidak lain dan tidak bukan adalah keseimbangan hidup. Segala pemikiran perlu diingat dalam dasar kesatuan berbangsa dan bernegara yang jujur dan disiplin, tanpa hegemoni dan demagog. Kelompok-kelompok ini masih punya idealisme untuk bangkit dan menolak kejahatan serta pengkhianatan intelektual, karena kejahatan intelektual sesungguhnya lebih keji dan tidak bertanggungjawab ketimbang kejahatan fisik yang jelas bisa dihukum dengan pasal-pasal kriminal dan perdata. Kejahatan intelektual sering terselubung bahkan menjadi istilah dalam setiap kejadian pasti ada aktor intelektualnya. Pendapat peyoratif miring ini harapannya dapat diluruskan dengan memajukan Literasi seperti mengutip Tolstoy di atas yaitu dengan membaca secara kritis antara pikiran kita dengan pemikir besar, oleh intelektual organik yang bukan kebo nusu gudel.
Kesimpulan dan Rumusan
1. Hanya intelektual yang harus bertanggungjawab atas nasib manusia dan bangsa.
2. Intelektual harus diartikan luas, bukan tersandera pada gelar dan jabatan, tapi pada kebaikan umat manusia sebagai tujuan dan cara.
3. Karena banyak intelektual (pemikir) pada kenyataannya tersandera oleh kekuasaan baik politik dan ekonomi, perlu ada advokasi terhadapnya dengan mengembangkan intelektual organik.
4. Intelektual organik tidak hanya tumbuh dari lingkungan masyarakatnya yang bisa menjadi pemimpin informal tapi tetap menggerakan dan beradvokasi untuk people empowerment.
5. Tugas-tugasnya untuk mengembangkan literasi dalam masyarakat agar tercipta keterbukaan dan mobilitas vertikal dalam kepemimpinan yang bukan dinasti dan (neo)feodalisme, dan bukan budaya kebo nusu gudel.
6. Tanggung jawab sosial dan hak-hak individu yang seimbang harus dijaga agar konsep demokrasi maupun toleransi tidak dibajak dari dua arah baik diktator mayoritas maupun tirani minoritas yang menjadikan kedua hal itu alat politik bukan saling menghormati.
7. Kekuatan intelektual organik tidak perlu untuk tujuan revolusi sosial, tapi revolusi mental umat manusia yang menyeimbangkan apa yang dipikirkan dengan perbuatan (praxis) sehingga tidak melahirkan demagog-demagog baru.
8. Ruang publik untuk intelektual organik perlu diperluas baik itu dukungan pemerintah, swasta, dan komunitas, berupa beasiswa bukan hanya untuk kuliah tapi langsung belajar (pelatihan) secara berkelanjutan dan berkamauan (karsa) untuk berkarya.
[1] Disampaikan dalam Orasi Kebudayaan Penghargaan Filosofi Tridaya Upaya Karsa #4. Selasa, 20 Mei 2025 di Sasono Joko Kahiman, Pendopo Sipanji, Purwokerto.
[2] Pendiri Padepokan Filosofi dan Pondok Tani Organik Yasnaya Polyana, Windujaya, Kedungbanteng, Banyumas