Demokrasi Suara Menuju Suara Demokrasi

OPINI

Ashoka

11/12/20256 min baca

I. Pengantar

Kita mulai dengan Jasmerah Bung Karno, dengan pengertian jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sejarah pemilu kita tidak terlepas dengan sejarah pendidikan politik kita, yang akan dibahas dalam rentang waktu sejak awal Orde Baru hingga reformasi untuk merancang masa depan demokrasi yang akan ditentukan dari bagaimana berlangsungnya pemilu dari waktu ke waktu. Baru sekali ini dalam sejarahnya KPUD Banyumas patut dipuji, jauh hari menjelang pemilu 2029 sudah bisa untuk merencanakan pendidikan demokrasi untuk rakyat (pemilih).

Ini suatu harapan kemajuan ketimbang sejarah yang sering dilupakan bahwa di Padepokan Filosofi ini juga tidak terhitung menjadi tempat sentral untuk persiapan beberapa kali Pilkada dan Pilgub maupun Pilpres dan pen-caleg-an yang selalu sifatnya terburu-buru oleh para tim pemenangan. Di Padepokan ini juga pertama kali syukuran 21 Mei 1998 dengan lengsernya penguasa Orde Baru Suharto yang dikenal dengan “Kesepakatan Peninis” Windujaya yang kita (termasuk Ibu Wasitah, Yoyo Soekoyo, Bambang Baharudin, dll) prakarsai untuk menggulirkan persiapan mengisi pendidikan politik para politisi dan seratus orang mahasiswa dikoordinasi oleh Djarot Setioko dan Juli Krisdiyanto. Dengan Jasmerah ini kita juga membuat kesepakatan Tiga Desa (Windujaya, Windusari (Kalisalak), dan Melung (Kaliputra) yang masing-masing diwakili Bapak Gianto alm. (belakangan menjadi Kepala Desa Windujaya), Bapak Sanbasri, dan Bapak Kartaji (Mantan Bau ).

Ini berbagai contoh bergulirnya reformasi Banyumas dimulai di Peninis, Windujaya bukan di kampus-kampus yang sering ditulis akhir-akhir ini oleh yang tidak memegang prinsip Jasmerah tadi; dan Jasmerah untuk urusan pemilu yang pertama dilangsungkan, di tempat ini juga diadakan pertemuan dan pembahasan selama beberapa hari yang dipimpin sahabat kita alm. KH. Abbas Muin dan mendatangkan Kawan gerakan kita Ketua KIPP, alm. Mulyana Kusuma, semoga KPUD bisa mencatat semua, sejauh perkembangan pendidikan politik di daerah-daerah lainnya agar bisa menjadi tonggak perkembangan dan penguatan demokrasi yang kuantitas menjadi kualitas, yang berdasarkan sejarah bisa melangkah ke depan melihat Indonesia dengan geografis ideologi bangsa (kualitas), bukan saja geografis fisik (kuantitas) agar apa yang dipilih merupakan suatu cara yang berkualitas untuk melahirkan pemilih dan yang dipilih bukan yang mediokritas yang tidak mampu menjabarkan arti “membiasakan yang benar ataukah membenarkan yang biasanya?”.

II. Demokrasi Suara

Kebiasaan kita memang menghitung suara (kuantitas) itu menjadi syarat demokrasi, yang hanya memandang setiap orang mempunyai satu suara, apakah orang itu berkekurangan fisik, ataupun buta huruf, ataupun berada di ujung dunia, tetap memiliki hak suara (one man one vote) itulah demokrasi yang bisa dihitung secara kuantitatif yang secara teknis pun boleh dilakukan sebagai syarat pemenuhan dari demokrasi itu sendiri, tanpa memperdulikan syarat-syarat kualitas demokrasi itu sendiri seperti hak azasi manusia termasuk di dalamnya abstain atau golongan putih (golput).

Ini bisa secara Jasmerah pada pemilu pertama setelah kemenangan OrBa butuh pemenuhan atau keabsahan untuk berkuasa yang pada masa itu soal kuantitas suara menentukan absah tidaknya Orde Baru secara legal formal demokrasi. Di sini semua cara disahkan demi tujuan suara sebanyak-banyaknya, tujuan menghalalkan segala cara (the end justifies the means) yang jelas amat bertentangan dengan rasa keadilan dan cara-cara yang memperhatikan hak-ahak azasi manusia. Ini yang terjadi di pemilu pertama, dan semenjak reformasi secara perlahan harus meninggalkan cara-cara yang dilakukan pada pemilu 1971 awal dari Orde Baru yang perlu Jasmerah bahwa untuk menyuarakan pemilu dan pengesahan demokrasi melalui pengumpulkan suara secara paksa di desa-desa bahkan dengan todongan bayonet bukan kotak suara, dari saksi-saksi yang terungkap di beberapa daerah setelah kejatuhan Orde Baru. Bukan ditodong senjata karena mereka tidak mengerti apa yang musti mereka pilih di desa-desa dan pinggiran kota (periphery)melainkan justru karena warga (pemilih) lebih mengerti perkembangan politik yang benar dan merasa kritis bahwa mereka harus memilih siapa yang mereka tidak kenal atau percaya, bagaimana ibaratnya “memilih kucing dalam karung” bahkan kucing dengan belang yang seperti apa, semenjak adanya fusi partai politik, karena rakyat saat itu jauh lebih ideologis daripada penguasa baru yang menjalankan pemilu bukan dengan azas jurdil tapi lebih pragmatis politik yaitu bagaimana demokrasi seperti cerita angsa emas yang dipaksa bertelur emas terus-menerus sampai angsanya mati kurus hanya disuruh bertelur (menghasilkan suara dalam hal ini) bukan sampai mengeram dan menetas menjadi “angsa” (generasi baru) melahirkan suara demokrasi bukan semata-mata demokrasi mencari suara, sehingga yang semula Suara Rakyat (demos) adalah suara Tuhan seperti ungkapan terkenal dalam demokrasi vox populi vox deiakhirnya menjadi suara rakyat suara penguasa.

Dampak pendidikan politiknya kalau penguasa yang sudah menjadi jargon politik transaksional dengan “duit”-uang- maka jargon demokrasi pun akan menjadi “suara rakyat adalah suara duit”. Maka dengan situasi seperti ini tugas penyelenggara pemilu (KPU-D) akan semakin berat membawa amanah demokrasi yang disuarakan atau suara yang disuarakan dalam bentuk kuantitatif bukan kualitatif dalam artian ikut berperan untuk konsientisasi (penyadaran, pendidikan) politik demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat mengutip semboyan Abraham Lincoln.

III. Suara Demokrasi

Dengan semboyan dari, oleh, dan untuk rakyat tadi membawa kepada soal hak dan tanggungjawab kepada siapa harus dibebankan dan ditugaskan. Persoalan kenyataannya tidak mungkin ibarat orang hanyut akan menolong orang hanyut. Di sinilah perlu prinsip terbentur…terbentur…dan terbentuk. Semoga KPUD sudah sampai untuk ini, apakah masih terbentur terus untuk melanjutkan demokrasi suara menjadi suara demokrasi, yang mampu mengubah kuantitas menjadi kualitas. Dalam hal ini memang bukan hanya dipikul oleh penyelenggara pemilu untuk suara demokrasi, yang akan menyebabkan partai-partai politik menjadi nyaman tertidur di siang bolong, duduk manis di kursi legislatif dengan uang reses yang harusnya bisa efektif mengembangkan kesadaran politik. Tetapi apakah simbiose mutualis bisa obyektif antara pemilih dan yang dipilih sehingga bisa terjadi ibarat orang hanyut mau berenang menolong orang hanyut?

Perlu diimbangi lembaga-lembaga lain, orang yang bisa menolong orang hanyut, apakah itu si pemilih atau yang dipilih. Bisa saja dalam bentuk hukum atau pengorganisasian masyarakat yang independen. Ambil contoh beberapa waktu lalu ketika Perdana Menteri India Moody membuat perundang-undangan impor pertanian dan disahkan oleh legislatif, disambut secara massif oleh seluruh petani India bersatu bahkan didukung gerakan tani di penjuru dunia untuk pemogokan selama tiga bulan di depan gedung parlemen dan istana pemerintah India, lalu ketiga undang-undang tersebut dibatalkan. Semboyan suara rakyat suara Tuhan akan bisa terwujud apabila rakyat pun bisa dididik dan mendidik dirinya dalam memilih dan kritis terhadap politik yang benar, dengan demikian membiasakan kebenaran, dan punya rasa malu kalau melakukan kecurangan sehingga mampu mengawasi pemimpin yang curang dan tidak bersimbiose mutualistis negative alias transaksional uang.

Sudah lama John Dewey menulis dalam bukunya Democracy and Education itu penting, tapi bukan dimaksud hanya pendidikan kesarjanaan yang paling mampu berpolitik, tapi rakyat pun bisa dididik berorganisasi yang benar dengan bersih dan baik mengawasi pemimpin yang dipilihnya.

IV. Peran KPUD

KPU umumnya dan KPUD khususnya sudah seharusnya menjalankan tugas suci (mission sacre) yang bukan sedikit dampaknya di masa mendatang dan dirasakan akibatnya dalam perjalanan sejarah di masa datang. Sebagai miniatur di daerah, KPUD tidak kalah pentingnya untuk berperan karena kesalahan kecil dan besar tidak ada bedanya dalam politik apalagi untuk memperjuangkan berdemokrasi dalam kehidupan walaupun sekecil dan terpencil letaknya tetap harus mendapatkan merasakan keadilan, transparan melayani pemilih suara.

Sekali lagi bisa menjadi contoh betapa dahsyatnya pemilu di India beberapa waktu lalu, KPU di sana berprinsip walaupun satu orang di hutan dan di ujung gunung Himalaya dengan para pertapanya akan dihampiri oleh tim pemilu ke lokasi di mana mereka berada. Ini bagaikan tugas suci pemilu demokrasi terbesar di dunia dengan 800 juta suara pemilih hampir 7 kali lipat pemilih di Indonesia. Bisa dibayangkan betapa misi untuk melibatkan warganya berdemokrasi, prinsipnya apa yang disemai tentu akan dituai dalam kehidupan bernegara demokrasi, kecuali dalam prosesnya tentu banyak tantangan yang terberat yaitu kebohongan publik, sehingga pemimpin yang dipilih adalah mereka yang medioker. Ini akan menjadi dosa sosial dalam berdemokrasi yang tadi sudah dijelaskan hubungan antara kecerdasan (education) dan demokrasi.

Lalu siapa yang akan/harus bertanggungjawab bila ini terjadi dalam proses sejarah pemilu, apakah dengan mudah setiap kali kita berdalih dengan mengatakan ini sebagai “kecelakaan sejarah”. Dan dengan mudah juga sering dikatakan ini tanggungjawab atau kesalahan-kesalahan semua pihak akhirnya amat sulit melakukan perbaikan ke depan. Tanggungjawab bisa saja bersama-sama, tapi sanksi hukum tidaklah bisa dikomunalkan, sifatnya harus transparan case by case dan by name (merujuk pada nama-nama yang bertanggungjawab) agar terjadi pembelajaran bukan pembiaran dalam berdemokrasi sehingga dapat mencapai pemerintahan bersih (clear governance) atau pemerintahan yang baik (good governance) yang bukan fatamorgana.

Dari satu tulisan yang bagus dan jernih dari Rahmat Bagja menyebutkan bahwa “Lembaga penyelenggara pemilu harus kuat dari sisi transparansi dan akuntabilitas. Sebagai institusi publik, lembaga penyelenggara pemilu harus setia pada prinsip-prinsip demokrasi, diantaranya transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Revisi undang-undang pemilu ke depan juga harus mampu menjamin penguatan lembaga penyelenggara pemilu untuk “dipaksa” transparan, membuka partisipasi ruang publik, dan bisa diaudit oleh publik terkait kerja-kerjanya dalam menyelenggarakan pemilu. Bila pemilu adalah jantung demokrasi, maka keterbukaan/transparansi adalah oksigennya dan pembelajaran institusional adalah iramanya”[1].

V. Kesimpulan dan Rekomendasi
  • Suara harus dipastikan bisa berarti kuantitas diseimbangkan juga menjadi suara yang kualitas agar dalam mengumpulkan suara sekaligus berarti advokasi demokrasi, berusaha menjadi bagian dari pendidikan politik di luar dari pendidikan kader di partai masing-masing.

  • Senantiasa KPUD bisa melatih secara rutin dalam bentuk yang holistik berkaitan dengan pendidikan politik yang ideologis bangsa (Pancasila) bukan denominasi partai, justru KPUD bisa sering rutin mengadakan sarasehan-sarasehan demokrasi dan kebangsaan yang menjadi perekat dalam soal etika politik sehingga ikut mengawasi proses kerja politik partai-partai.

  • Dengan demikian pengawas tidak hanya bersifat teknis dan legal formal hukum positif yang hanya membuka celah pelanggaran dan melanggengkan kebusukan politik bukan pencerahan kebenaran. Oleh karena itu KPUD perlu pendalaman filsafat manusia, hukum dan negara.


[1] Kompas, 14 Oktober 2025, Rahmat Bagja, “Reset Lembaga “No”, Penguatan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu “Yes”, hlm. 6.

*Paper disampaikan dalam acara Sarasehan Demokrasi Pendidikan Politik Untuk Masyarakat dengan tema Bersama Masyarakat Wujudkan Demokrasi yang Tangguh. Di Padepokan Filosofi dan Pondok Tani Yasnaya Polyana, Peninis, Windujaya pada tanggal 12 November 2025.