Manusia Rempah “Bulan-bulanan Tengkulak Sepanjang Masa”
Manusia itu senantiasa terlibat dalam kebudayaan tidak bisa dibantah lagi, karena manusia itu subyek sekaligus obyek budaya. Cakupan kita begitu luas dalam lintas daerah dan lautan, memperkaya bukan hanya budaya dan latar belakang, tetapi juga memperkaya masalah yang sering kali timbul dalam persinggungan gerak menjadi pergesekan budaya dan kepentingan, bahkan bisa memuncak pada peperangan antar suku dan bangsa. Dalam sejarah cukup banyak buktinya, sehingga ketika mengulas jalur rempah jangan sampai terjerumus pada ahistoris. Begitu pula letak kita yang menjadi persilangan budaya besar dan wilayah bangsa-bangsa bukan hanya membawa keuntungan tapi juga ancaman. Bangsa-bangsa yang selalu mengutamakan kepentingan dalam negerinya bukan selalu menjamin perdamaian tetapi bisa juga menjadi ancaman diantara bangsa-bangsa tersebut bahkan menuju penaklukan kepada bangsa yang lemah. Bahkan kolonialisme yang berebut pengaruh daerah-daerah strategis yang tidak lain tidak bukan mengincar penguasaan perdagangan yang sifatnya monopolistik. Perdagangan pun berganti-ganti komoditas yang diminati, tergantung kebutuhan pasar dunia dari zaman ke zaman.
Pada abad ketika Majapahit berkibar benderanya, tentunya belum ada industri dalam artian modern yang signifikan seperti sekarang. Kehidupan rakyat Jawa khususnya padat penduduk dibanding wilayah di luar Jawa lainnya, sehingga kemampuan menghasilkan dan dominasi karena penduduk padat tersebut atas tanaman pangan tersebut cukup besar seperti beras, kayu untuk kebutuhan pembuatan kapal dan perumahan cukup pesat pengadaan dan perdagangan untuk domestik maupun perdagangan Internasional. Kehidupan agraris boleh dikatakan masih “sembilan puluh sembilan persen” menghidupi manusia di lingkungan wilayah ini. Dengan kemajuan pesat komoditas tani dan kebun didukung angkatan kerja dan kekuatan armada yang cukup serta pengetahuan bercocok tanam berbasiskan kearifan lokal, permintaan perdagangan nasional dan internasional meningkat, termasuk terjadi interaksi antar daerah yang memperkaya variasi komoditas pangan dan rempah. Dari Banten dan Lampung bertukar hasil lada dengan komoditas pala dan cengkeh dari Maluku. Ibarat perdagangan antar kerajaan, Rakyat menanam, Raja membeli, Tengkulak merajai dalam lintas perdagangan rempah khususnya.
Lintas internasional yang seringkali dikuasi perompak menjadi tanggung jawab penguasa kerajaan yang sedang berkuasa. Ketika terjadi kevakuman kekuasaan maka menjadi kesempatan para pengelana asing yang sekaligus membawa misi perdagangan dunia. Bukan saja secara tradisional perdagangan lintas Cina dan India ke Asia Tenggara, tetapi ada kekuatan kapal dagang dari Eropa, baik itu Portugis, Spanyol, maupun Belanda, Inggris dan sebagainya. Diantara perusahaan-perusahaan dagang pun tidak kurang terjadi konflik bahkan peperangan diantara mereka, dan seringkali melibatkan raja-raja kecil Nusantara menjadi pro atau kontra dengan kekuatan maskapai-maskapai kapal dagang asing tersebut.
Diantara para pengelana asing dan kapal-kapal dagang dari berbagai bangsa, antara beberapa pos lintas perdagangan dunia, VOC (perusahaan dagang Belanda) lah yang menjuarai dalam penguasaan lintas perdagangan karena memiliki berbagai pos pelabuhan strategis di seantero dunia antaralain New Amsterdam (sekarang New York), Tanjung Harapan, Ceylon, Malaka, dan yang paling penting mereka dapat menguasai Hindia dengan Batavia menjadi Ibu Kotanya. Seiring dengan perjalanan waktu sejarah, satu per satu pos pelabuhan dagang di Kepulauan Jawa bisa direbutnya untuk kepentingan penguasaan monopoli dagang, sampai-sampai puncaknya terjadi Perang Hongi, untuk memonopoli jalur rempah dari Indonesia Timur khususnya.
Dengan bangkrutnya VOC pada tanggal 31 Desember 1799, semua proses penguasaan perdagangan diambil alih langsung di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda. Pihak pemerintah kolonial Belanda ini sebetulnya memainkan peran lalu lintas administrasi yang berkualitas untuk memajukan perdagangan dunia dari Hindia Belanda. Banyak komoditas kebun dan tani yang menduduki peringkat atas dalam pasar dunia, seperti gula, cokelat, karet, kapoek, tembakau, kopi, teh dan sebagainya. Disini kita dapat menilai, bahwa administrasi amat sangat berperan penting walau bersifat perdagangan bebas. Disebut perdagangan bebas karena kolonial Belanda memberikan berbagai konsesi kepada kolonial-kolonial lainnya seperti Inggris, Belgia, Perancis, dan lain-lain untuk berperan mengelola tanah-tanah perkebunan yang disewakan dalam jangka panjang oleh pemerintah Hindia Belanda yang menghasilkan komoditas-komoditas yang dibutuhkan pasar dunia termasuk rempah. Pengelolaan perkebunan oleh pengontrak-pengontrak asing ini banyak mempekerjakan buruh baik pribumi maupun tenaga buruh “impor” dari Cina maupun lintas daerah. Secara umum sungguh mengenaskan bagi buruh kebun dan tani yang bekerja di perkebunan-perkebunan yang disebut Onderneming atau Plantation. Kebun-kebun yang dikembangkan umumnya bukan rempah-rempah, tapi tanaman komoditas bagi industri di Eropa, seperti karet dan tembakau di Sumatera, kopi dan berbagai komoditas di sepanjang Jawa. Mereka jarang berkebun rempah-rempah yang justru banyak masih ditanam oleh para petani dan pekebun rakyat maupun di bawah pengelolaan kerajaan lokal seperti beras, lada, pala, cengkeh, dan kapoek.
Tidak semua rakyat mempunyai kesempatan bertanam rempah karena harus mengusahakan tanaman pangannya terlebih dahulu. Oleh karena itu kebun rakyat penghasil rempah tidak mungkin berskala besar-besar. Kelompok petani rempah amat sangat bergantung dengan makelar non pribumi yang belajar dari cara kerja “modern” Belanda yang hanya mempunyai modal kapital finansial, skill dan market tetapi sangat menentukan harga pasar untuk barang-barang dari petani termasuk rempah. Setelah kita merdeka, sistem makelar berkembang menjadi kelompok tengkulak bahkan disebut “lintah darat”. Mereka tidak lagi mendasari perdagangan pada teori pasar yang walau menindas tetapi masih memperhitungkan keuntungan bersama dengan sistem perdagangan “purchasing”. Para tengkulak lebih menggunakan sistem “bargaining” yang sifatnya tawar-menawar dengan kelas petani kecil atau pekebun rakyat yang memang minim atas informasi maupun perdagangan yang lebih fair. Akhirnya tengkulak ini menetapkan harga secara sepihak termasuk harga rempah-rempah yang rakyat petani tanam, karena didasari informasi dari para tengkulak saja. Kalaupun ketika para petani menanam dengan hasil yang baik dan melimpah, dengan serta-merta para tengkulak mengatakan harga jatuh karena sedang murah, dan stok penawaran tidak tertampung karena melimpah. Betul memang berdasarkan hukum ekonomi tentang perimbangan pasar ditentukan antara penawaran dan permintaan, tetapi ketika para tengkulak tahu informasi keseimbangan itu ada, mereka justru mendistorsi informasi supaya mendapat margin yang besar dari para petani dan pekebun, termasuk petani rempah, seolah-olah harga sedang tidak menguntungkan dalam perputaran perdagangan. Petani harus menerima nasib sepanjang masa yang tidak diuntungkan atas komoditas yang ia miliki, yang ia tanam berpuluh-puluh tahun harus menyerah pada informasi yang terdistorsi oleh permainan dagang tengkulak.
Bulan-bulanan para tengkulak semakin kuat jeratannya bagaikan gurita dengan tentakel-tentakelnya menjerat jaringan pemasaran dan perdagangan yang tidak mengikuti hukum pasar yang rasional dan terbuka. Pemerintah sebenarnya harus berpihak dan ikut campur atas keseimbangan itu, bukan justru melakukan pembiaran terhadap cara kerja tengkulak yang tidak rasional tersebut. Kalau hukum pasar itu sudah berlaku rasional memang pemerintah tidak perlu ikut campur tangan lagi.
Masih segar dalam ingatan para petani dan pengepul kecil ketika BPPC (Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh) berdiri pada tahun 1992. Mereka harus mengalah pada pengepul dan tengkulak kelas kakap dan raksasa karena didukung kekuasaan pemerintah melalui Kepres. Amat tragis riwayatnya rempah cengkeh, yang dikatakan bahwa BPPC akan menyangga dan membela petani rempah dengan merevitalisasi dan penyehatan tata niaga cengkeh sebagai rempah, justru menjadi alat pemukul bukan saja terhadap petani tapi juga para tengkulak yang tadinya sepanjang masa menjadi pemeras para petani. Tapi kali ini amat ironis mereka justru menjadi korban dari tengkulak yang lebih besar yang bernama BPPC itu yang memakai Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai alat penghubung kepada petani rempah cengkeh. Tragedi rempah cengkeh ini berakhir dengan amat tragis, ketika hampir disebagian wilayah cengkeh diseluruh Nusantara menebang pohon-pohonnya yang telah puluhan tahun menghidupi sejahtera petaninya. Harga cengkeh yang dipatok oleh Badan yang menganggap dirinya penyelamat tata niaga cengkeh, dengan harga yang fantastis memalukan sekaligus mematikan dengan hasil cengkeh yang kalau dijual pun ke Badan tersebut tidak mampu membiayai ongkos proses pemanenan cengkeh tersebut. Dan kalau dikurs dengan perbandingan amat fantastis harga cengkeh yang ditetapkan, hanya bisa membiayai sepersepuluh ongkos pemanenan. Selebihnya petani harus sukarela mendukung program “revitalisasi” perdagangan cengkeh sebagai rempah.
Dengan melihat secara historis yang demikian jelaslah bahwa dari zaman ke zaman tengkulak menjadi momok, apakah itu tengkulak kecil maupun kelas kakap. Tetap saja filosofinya menghisap keuntungan yang bukan haknya. Lalu apa yang mau direvitalisasi untuk masa depan rempah, apakah kita mau merevitaliasasi perdagangan negara atau monopolistik global atau memang mau merevitalisasi budaya rakyat sebagai budaya rempah di desa-desa disepanjang Nusantara. Masih segar memori kolektif dalam masyarakat betapa dramatisnya nasib rempah dengan adanya peristiwa BPPC yang dalam narasinya ingin menyelamatkan tata niaga cengkeh dengan dalih revitalisasi perdagangan tidak lebih dan tidak bukan sama dengan monopolistik pelaku-pelaku dagang pada masa pra kemerdekaan. Ini sebuah kemunduran bahkan sebagai tragedi kemunduruan peradaban atas apa yang dicita-citakan jalur rempah yang malahan justru menjadi jalur mafia.
Jikalau kita ingin berbicara perihal revitalisasi, kita harus jujur dengan sejarah, jangan kita meromantisir sejarah, namun harus transparan dalam sejarah dengan cara mendorong peran pemerintah atau Negara untuk berpihak pada pekebun atau petani rempah dengan tata niaganya yang manusiawi dan transparan. Hal ini sekarang sedang gencar diupayakan bahkan di Negara maju untuk memperjuangkan fair trade bahkan basic community trade, ditambah lagi dengan konsep Sustainable Development Goals (SDG’s) dari PBB yaitu menjunjung tinggi kemakmuran rakyat. Berarti disini kita tidak boleh hanya dengan berslogan Jalur Rempah Nusantara, tapi harus dilandasi dan dibarengi dengan advokasi, yakni keberpihakan bangsa kepada kemakmuran para petani yang bersentuhan langsung dengan kehidupan bersama pohon-pohon rempah tersebut.
Dengan adanya kemakmuran para petani rempah dan keberpihakan pemerintah maupun media dan lembaga-lembaga intelektual, universitas, Kementerian yang terkait harus mampu saling bekerjasama, bersinergi membangun fair trade antar daerah. Hal ini akan mewujudkan persatuan antar daerah untuk membangun dan membangkitkan semangat Jalur Rempah Nusantara sebagai tantangan untuk menghadapi ketidakadilan tata niaga dunia. Ini semua akan menjadi sebuah renungan sejarah yang mewujud sebagai kekuatan moral dan memperkuat kearifan lokal untuk menghadapi pengulangan sejarah monopolistik ataupun jalur rempah yang jatuh ditangan sekelompok kecil tapi menjadi momok besar bagi kepentingan rakyat sehingga kehidupan manusia rempah Nusantara dalam hal ini petani rempahnya tidak menjadi bulan-bulanan tengkulak. Cerita rempah jangan menjadi cerita tragis, tapi harus menjadi cerita yang manis.