Tulisan Ashoka Siahaan di watyutink.com 15 September 2017

Model ‘serangan’ lewat bahan pangan, sayuran, buah-buahan, dan sejenisnya memang telah lama ada dalam proxy war. Namun, skema dan metode yang digunakan selalu baru dan berubah-rubah sesuai perkembangannya. Salah satunya ya bioterrorisme ini. Dan ini justru lebih sistematis dan lebih berbahaya. Karena sangat sulit dideteksi dari awal.

Ilustrasi Bioterorisme

Kesulitan mendeteksinya karena dilakukan sejak dari pembibitan, menyebabkan kita terkecoh dan melakukan pembiaran. Bahkan jika ada sinyalemen, sering kali masyarakat justru menyepelekan kebenarannya, dan dianggap hoax. Baru tanggap setelah ada kasus.

Mewaspadai terhadap segala sesuatu dari luar– baik barang impor yang terdokumentasi, termasuk ‘barang’ dan agenda yang sengaja ikut disusupkan di dalamnya termasuk dalam menjaga kedaulatan bangsa. Namun, kita juga tidak boleh mencurigai bahkan menutup pintu rapat-rapat. Nah, celah inilah yang kemudian dimanfaatkan para ‘pemainnya’ memasukkan bioterorisme ini.

Dalam kasus bioterorisme ini, saya mensinyalir, ada aliansi dan kolaborasi antara penguasa (stake holder) dan pengusaha yang menjadi ‘pemain’ dalam kasus bibit beracun yang masuk ke Indonesia ini. Kenapa? Karena skemanya sangat halus dan sistematis. Dan hal ini biasa dilakukan dalam perang proxy yang perjuanganya adalah melakukan penjajahan 3F: Fuel, Finance, Food pada suatu wilayah atau Negara. Nah, dalam opini ini saya hanya akan menjelaskan tentang “Food” saja sebagai bagian dari bentuk perjuangan terhadap ketahanan pangan kita.

Saya melihat ada dua kesalahan dan kelemahan dari kita para aktivis lingkungan dan aktivis kemanusian sehingga terjadi kasus ini, yakni: Pertama, pandangan yang kurang holistik dari para aktivis lingkungan sehingga dalam memandang hanya teknis bio atau tekno saja, bukan culturoecojustice atas budaya, lingkungan dan keadilan. Dimana, pemberian infomasi dan edukasi terhadap kepada masyarakat itu penting, sebagai bagian dari tindakan preventif dan pembelaan terhadap masyarakat. Penanaman pemahaman tentang hal ini penting bagi mereka yang concern dengan lingkungan dan kemanusiaan; bahwa semua orang perlu dibela dan berhak mengetahui apa yang sedang terjadi pada diri serta lingkungannya.

Kedua, kapasitas dan mentalitas dari kalangan intelektual kita yang seolah terlihat bingung atas orientasi berfikirnya, sehingga menyebabkan geraknya pasif. Seolah mereka tak memahami apa yang terjadi di masyarakat. Seperti yang saya sebut tadi, setelah ada kasus, baru tahu sibuk dan tergagap-gagap untuk menjelaskan apa yang terjadi ketika diminta untuk berpendapat. Karena, mereka tidak mengikuti dari awal. Bahkan, sensitivitas hilang. Tidak pernah belajar untuk berfikir kritis terhadap lingkungan disekitarnya.

Dan satu lagi yang paling penting dan krusial, yakni kehadiran pemerintah atas terjadinya kasus bioterorisme ini, serta pencegahannya atas kemungkinan terjadinya hal sama di masa depan. Pemerintah tidak boleh abai akan terjadinya kasus ini. Pemerintah lah yang pertama kali harus melakukan screening terhadap masuknya segala sesuatu yang mengancam kedaulatan Negara, termasuk bibit beracun yang terbukti di tanam di wilayah Bogor dan Dieng, oleh para proxy troops sebagai bagian dalam proxy war. Pemerintah harus bersinergi dengan rakyat. Membendung dan membentengi kedaulatan Negara, termasuk kedaulatan pangan negeri ini. Andai Rakyat diberi informasi yang berkaitan dengan bioterorisme mungkin akan membantu kinerja pemerintah.