Background

Saat kita bicara kopi dan menghirup kopi berarti kita mulai berimajinasi dan berfikir tentang sesuatu. Dengan kebiasaan di kedai dan di kafe dimana pun di dunia tempat minum kopi berarti bermakna  perjumpaan dan berkarya dengan mencetuskan sebuah bentuk konkret dari pemikiran baik itu lokal, nasional dan global. Dari sebuah tempat yang terkucil yang sering tidak dikenal dari mana dan bagaimana datangnya kopi, mampu membuat perkumpulan-perkumpulan di dunia jagat raya, dan pusat-pusat peradaban terbentuk dan bergerak. Dunia kopi memang dunia yang serba kuat.

Kopi dan Peradaban

Perjalanan kopi merupakan perjalanan peradaban, dari kecil menjadi besar, dari pelosok menjadi sejagat. Pada saat kita duduk di sebuah coffee house di jantung kota New York, akan terbentang di papan menu dengan jelas beraneka ragamnya kopi yang menunjukkan nama-nama kedaerahan asal kopi tersebut dan bukan nama negara yang baru mengenal kopi itu. Tidak ada tertera disitu nama kopi Indonesia; yang ada ialah Java Coffee atau pun Sumatra Coffee, ini membuktikan kita sudah mendahului negara-negara baru yang berkecimpung dalam per-kopi-an. Peradaban kopi ini dapat dibaca lebih dalam pada pembukaan buku novel klasik di jaman Hindia Belanda yang berjudul Max Havelaar tentang lelang kopi di Amsterdam; itu pun bukan memakai nama kopi Hindia Belanda, melainkan kopi Priangan, Jember, Jawa, Sumatera, Bali, Malabar, dsb. Inilah jalan kopi sebagai jalan peradaban! Berbeda dengan teh yang sifatnya lebih pada aromatik, kopi lebih pada eksotik. Kopi bersifat pergaulan ketimbang teh yang lebih individual dan herbalistik. 

Kopi Serikat

Tradisi warung kopi/kedai kopi selalu terdiri dari manusia-manusia yang mencari obrolan dan perkembangan situasi, kondisi, sosial, politik dan budaya. Kita bisa mengamati bagaimana interaksi antara penjual kopi dengan pemakainya secara lebih alami (natural) tidak harus membawa labeling pabrik besar. Berkaitan dengan hal ini perlu disadari betapa egaliternya kopi dari asal-usulnya dan proses penawaran dan penjualan biji kopi (coffee bean). Disitu dapat terlihat proses dari petani kopi yang mempunyai eksistensi sebagai produsen dari yang raksasa sampai kepada produksi menengah maupun petani kopi sekecil apapun ia mampu menjualnya secara bebas kepada pedagang lain maupun konsumen langsung (enuser). Jarang orang-orang penikmat kopi menyadari bahwa kopi yag diminumnya tidak berbeda asal-usul dari si petani kopi itu berasal. Walau tadi dikatakan Jawa atau Sumatera kopi dinikmati di kafe New York tidak berbeda di kedai (warung kopi) dari asal kopi tersebut; Saya minum kopi Sidikalang dan Lintong (Sumatra Coffee) di kedai kopi desa Sidikalang tidak kalah nikmatnya dan bedanya dengan yang sedang dinikmati di Starbucks dengan asal kopi yang sama. Disini akan terlihat betapa egaliternya si pedagang kopi di mana kopi itu berada.

Kalau dahulu kopi-kopi lokal dibawa keluar oleh para pedagang kopi kolonial di pasar global dan sifatnya masif artinya bersifat dalam skala perusahaan besar dan unsur petani kopinya hilang yang tinggal hanya nama daerah serta nama perusahaan raksasa yang tampil di pasar lelang-bebas. Sekarang dengan kebangkitan negara-negara yang merdeka termasuk Indonesia dapat berinisiatif mengurus proses pembuatan kopi berdasar kedaerahannya seperti kopi Banyuatis Bali, Toraja, Flores dan banyak lagi kebangkitan kesadaran pengusaha dan pengolah kopi. Warung-warung kopi lebih bervariasi dan pluralis. Interaksi penjual dan konsumen bersifat kultural dan expieriential atau saling mencoba kopi dari berbagai kedaerahan.

Kopi Gotong-royong

Kesadaran seperti diatas berdampak pada pengalaman seseorang belajar ke-Bhinneka-an di Indonesia dalam bentuk lain serta mempertahankan ke-Ika-annya dalam pilihan yang tetap kopi Nusantara. Kita berserikat dan bergotong royong untuk menerima petani kopi yang menawarkan kopinya dan menikmati secara bersama-sama ke-gotong-royong-an Nusantara. Ini tidak terjadi dengan petani teh tadi yang tidak mungkin secara bergotong-royong menanam tanaman dan produk teh di halamannya secara non-pabrikan. Kopi serikat dengan kegotong-royongannya bisa bersama memulai dari menanam, memanen, mengolah, roasting hingga kemasan dan pemasaran langsung. Walaupun seseorang petani kopi menanam dalam skala kecil dua sampai lima hektar, bahkan setengah hektar pun mereka mampu menggoreng coffee beandan mengolahnya serta memberi namanya sendiri. 

Kegotong-royongan ini terjadi karena kita sudah merdeka dan memerdekakan diri dari berbagi macam tekanan dan penindasan dalam segala bentuknya dari yang non-fisik sampai pada yang fisik. Tidak bisa dibayangkan kalau kita masih di jaman kolonial bisa mampu dan boleh berinisiatif menanam kopi; apalagi membuat gerakan dan kumpulan-komunitas (juguran) para pegiat kopi. Dari yang semula sistem monopolistik kapitalis kolonial sekarang mengarah pada jalan kebersamaan persaudaraan gotong-royong petani kopi maupun pegiat kedai kopi. Tetapi ini bukan berarti kita tidak perlu merawat setelah me-ruwat persatuan dan persaudaraan kita dalam usaha tani dan kedai kopi. Kita sering dihantui oleh kesuksesan diri orang lain atau kehancuran usaha orang lain yang tidak bisa dijadikan pelajaran pada diri sendiri. Karena mengolah dan menghidangkan secangkir kopi itu merupakan sebuah seni tersendiri sepertinya sangat individualistik sebagaimana seperti seniman lainnya juga, oleh karena itu membutuhkan keterampilan dan kreatifitas yang unik. Hanya saja keunikan itu biasanya kalau diorganisir akan banyak sekali kendalanya sebagaimana juga mengorganisir para seniman sulitnya bukan main, butuh kesabaran dan kreatifitas yang unik juga untuk menghadapi banyak tantangan dan perjuangan dalam menyelesaikan dan mencari solusinya agar kegotong-royongan itu tidak hancur.

Kopi dan Koperasi

Sudah dijelaskan sebelumnya berbagai keunggulan kopi dan kegotong-royonganya, yang sebetulnya semua itu tidak lebih untuk mengantisipasi berbagai kelemahannya. Seperti halnya dalam semua bentuk gerakan dan organisasi, pasti akan menghadapi tantangan baik itu dari luar (eksternal) atau dari dalam (internal) kelompok. 

Pertama-tama kita lihat secara eksternal yaitu permasalahan yang lebih mudah seperti pepatah mengatakan bahwa semut diseberang lautan tampak jelas, sedangkan gajah dipelupuk mata terlewati. Bisa kita sebutkan satu per satu tantangan dan hambatan dari eksternal seperti persaingan modal raksasa baik itu bentuk usahanya maupun skala perkebunanya, selain itu segi promosi periklanan media yang cukup canggih dari kompetitor raksasa tadi. Segi lain eksternal yang sangat mencemaskan adalah bidang penelitiannya seperti kampanye perusahaan green coffee untuk penyembuhan dan dimensi kesehatan; juga penelitian variasi komposisi dan sensasi dari kopi itu sendiri.

Kedua, dari segi internal yaitu merupakan sisi yang lebih sulit tapi bisa diatasi sebagai bukti “bersama kita bisa”. Persoalan internal antaralain mencakup persaingan tidak sehat menghadapi menjamurnya kedai-kedai kopi yang tumbuh di musim “hujan”. Selain itu juga sulitnya menghadapi manusia medioker/pas-psan yang suka menjiplak kinerja orang lain; ini yang sebetulnya juga dihadapi oleh bukan hanya usaha kecil kopi tapi jenis usaha lainnya seperti martabak dan bakso. Kesadaran tidak saling menjatuhkan dengan pembajakan ide dan karya cipta sesamanya merupakan hal yang cukup penting. Semua ini memang ditentukan oleh kualitas dan kontrol produk masing-masing dan pada akhirnya konsumenlah tetap sebagai juri akhir dari semuanya. Hanya saja untuk menghindari resiko tinggi menghadapi “kawan” yang tidak jelas hanya ada satu cara yang ampuh yaitu bersatu! Bersatu dalam gerak dan jarigan dimana pun dan kapan pun, dalam kinerja semangat gotong-royong dan bentuk koperasi produksi.

Padepokan Filosofi-Purwokerto, 30 Juli 2017

Disampaikan dalam Seminar Kearifan Lokal & Ketahanan Ideologi bertajuk “Merawat Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an Dengan Semangat Produk Kopi Lokal” Purwokerto, 30 Juli 2017