Judul Buku : Pemberontakan Petani Banten 1888
Judul Asli : The Peasants’ Revolt of Banten in 1888
Penulis : Sartono Kartodirdjo
Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya Jakarta 1984
Tebal : xi + 509 Halaman
Bukuyang berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888 diterjemahkan oleh Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan judul aslinya yaitu The Peasants’ Revolt of Banten in 1888. Yang mana di dalam buku ini menjelaskan dengan lebih detail lagi terkait kondisi, jalan peristiwa, dan kelanjutan mengenai sebuah studi kasus gerakan sosial di Indonesia terkait dengan peristiwa pemberontakan petani di Banten pada tahun 1888. Diterbitkan atas kerjasama dengan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial yang didirikan pada tanggal 27 Oktober 1976.
Penulis buku ini tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual mengenai pemberontakan para petani pada tahun 1888 di Banten. Namun, juga sebagai sumbangsih kepada usaha-usaha untuk menjelaskan dan membahas aspek-aspek tertentu dari gerakan-gerakan sosial yang melibatkan lapisan-lapisan luas rakyat biasa di Indonesia, juga dalam hal kebangkitan kembali kehidupan keagamaan yang dibahas dalam Bab V, di dalam kerangka gerakan keagamaan pada umumnya di Jawa abad XIX. Dengan demikian maka dapatlah kiranya diharapkan suatu pemahaman yang lebih baik mengenai implikasi-implikasi-di bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan-dari dampak Barat terhadap masyarakat tradisional Indonesia di satu pihak, dan mengenai peranan rakyat biasa dalam pembentukan sejarah Indonesia di lain pihak.
Pemberontakan Petani tahun 1888 yang dibahas dalam studi ini terjadi di distrik Anyer di ujung barat laut Pulau Jawa. Meskipun pemberontakan berkobar dalam jangka waktu yang relatif singkat-dari tanggal 9 sampai tanggal 30 Juli– pergolakan sosial yang mendahuluinya harus ditelusuri kembali sampai ke awal tahun-tahun tujuh puluhan. Pemberontakan ini hanya merupakan satu di antara serentetan pemberotakan yang telah terjadi di Banten selama abad XIX, dan ia juga merupakan satu contoh dari ledakan-ledakan sosial yang sedang melanda seluruh Pulau Jawa ketika itu.Dokumen-dokumen Kementerian Urusan Jajahan yangmencakup abad yang lalu memuat laporan tentang banyakpemberontakan dan percobaan-percobaan pemberontakan dikalangan petani. Gerakan-gerakan milenari yang menyertai kegelisahan dan gejolak sosial, bermunculan di pelbagai daerah di Pulau Jawa, sementara gerakan kebangkitan kembali agama menampakkan diri dalam bentuk sekolah-sekolah, agama, dan perkumpulan mistik keagamaan yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.
Sesungguhnya abad XIX merupakan suatu periode pergolakan sosial yang menyertai perubahan sosial sebagai akibat pengaruh Barat yang semakin kuat. Orang dapat menyaksikan suatu modernisasi perekonomian dan masyarakat politik yang semakin meningkat. Seluruh proses peralihan dari tradisionalitas ke modernitas ditandai oleh goncangan-goncangan sosial yang silih berganti dan yang menyerupai pemberontakan tahun 1888 di Banten. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi hampir semua keresidenan di Jawa dan di daerah-daerah kerajaan, memperlihatkan karakteristik yang sama. Pemberontakan-pemberontakan itu bersifat tradisional, lokal atau regional, dan berumur Pendek. Sebagai gerakan sosial, pemberontakan-pemberontakan itu semuanya tidak menunjukkan ciri-ciri modern seperti organisasi, ideologi-ideologi modern, dan agitasi yang meliputi seluruh negeri. Bagian terbesar dari pemberontakan-pemberontakan petani itu bersifat lokal dan tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Bahkan, petani-petani itu tidak tahu untuk apa mereka berontak; secara samar-samar mereka ingin menggulingkan pemerintah, akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang mengambil bagian di dalam suatu gerakan sosial yang revolusioner. Yang pasti adalah bahwa tidak ada realisme dalam tujuan yang dikemukakan oleh kaum pemberontak.
Mungkin sekali pemimpin-pemimpin mereka pun tidak memiliki pengetahuan politik yang diperlukan untuk membuat rencana-rencana yang realitas seandainya pemberontakan berhasil. Oleh karena itu, maka pemberontakan-pemberontakan itu sudah seharusnya gagal, dan semua ledakan itu dengan pasti disusul oleh tragedi tindakan-tindakan penumpasan yang sama.
Arti penting jenis pemberontakan ini tidaklah pertama-tama untuk karena dampaknya terhadap perkembangan politik, melainkan terletak dalam fakta bahwa kejadiannya yang endemik selama abad XIX dapat dipandang sebagai suatu manifestasi dari pergolakan agraris yang merupakan arus bawah dari alur perkembangan politik selama periode “Pax Neerlandica”. Sampai saat jatuhnya rezim Belanda, nampaknya ada rasa tidak puas yang meluas yang senantiasa membara di bawah permukaan. Kebanyakan penulis masa itu sebagai suatu ledakan fanatisme atau suatu huru-hara menentang pajak yang tidak disenangi.
Dengan karyanya ini penulis berharap dapat sekedar menandai suatu awal dari kegiatan studi semacam ini dan mungkin akan digunakan dalam riset mengenai masalah ini di masa-masa mendatang. Dengan kehidupan di abad krisis-krisis ini yang melahirkan pembaharuan dan revolusi, tentunya studi mengenai gerakan-gerakan sosial dianggap tidak hanya menarik tetapi juga bermanfaat. Selain dari itu, di dalam suatu kurun waktu yang penuh dengan konflik dan ketegangan, sebagai akibat perubahan sosial yang cepat, semakin dirasakan perlunya memahami kekuatan-kekuatan penggerak di dalam masyarakat. Pemahaman mengenai gerakan-gerakan sosial masa lampau sering kali dapat diterapkan kepada studi mengenai gerakan-gerakan di masa sekarang dan di masa yang akan datang. (Source : Buletin Sumber).