In Memoriam Bung Tjahjo Kumolo
Kepergian sahabat kita memang sangat mengejutkan semua kawan dan sahabat di mana pun, karena kita merasakan sebagai seorang yang setia pada perjuangan dan persahabatan baik itu dalam politik maupun kehidupan sehari-hari. Tjahjo bukan sembarang manusia politik umumnya, ia mempunyai arti khusus buat perjuangan bangsa dari semenjak awalnya.
Sebagai sahabatnya saya mengenalnya sejak tahun 80 an di organisasi Putra-Putri Veteran Republik Indonesia yaitu Pemuda Panca Marga (PPM). Banyak sekali peristiwa yang kami lewati bersama almarhum sampai sehabis reformasi yang unik. Dari semua peristiwa itu saya merasakan ketulusannya dalam persahabatan maupun perpolitikan sebagaimana nilai-nilai yang diajarkan para ayahanda Veteran di L.V.R.I (Legiun Veteran Republik Indonesia) yaitu Tanhana Dharma Mangrwa yaitu pengabdian yang tiada mendua, kesetiaan yang tidak mundur pada situasi apapun dalam tugas dan ideologi kebangsaan dipegangnya.
Oleh kawan-kawan Tjahjo lainnya dalam kelompok pengurus pusat seperti Bung Sukotjo Said sebagai ketua umum kita pertama, maupun Bung Djoko Purwongemboro sebagai ketum kita yang terakhir masa kepengurusan sebelum reformasi, begitu juga Bung Bambang Haryo yang juga baru almarhum di Wonosobo. Semua mereka itu beberapa contoh dari banyak didikan ayahanda LVRI yang amat mulia, kita berbeda tapi satu adanya.
Ia tulus sekaligus amat berhati-hati dalam berkata dan bertindak, yang sering terkesan dikatakan orang-orang, kawan maupun lawan politik sebagai seorang “safety player” atau orang yang cari aman. Kalau ini dilihat sepintas oleh orang yang cuma sepenggal melihat almarhum dalam kurun waktu singkat. Tetapi sebagai sahabat yang mengarungi politik dan organisasi cukup panjang saya bisa mengatakan ia seorang True Believer dalam mempertahankan nilai-nilai bangsa, apapun resiko yang harus dihadapi. Apakah true believer itu; adalah orang yang setia pada politik bangsa maupun nilai-nilai kehidupan. Sebagai orang jawa yang cermat menjaga keseimbangan harmoni amat dipegang teguh oleh seorang Tjahjo itu.
Unsur manusia baginya menjadi sentral dalam membentuk tindakan politiknya. Ia seorang sahabat yang saya selami selama puluhan tahun kita bersama dalam berbagai peristiwa penting dalam perjalanan sejarah organisasi dan politik bangsa. Kelihatannya ia jarang humor, karena ia lebih banyak menjadi perenung dalam menyikapi masalah dan solusi saat kita sedang bergaul sehari-hari. Anehnya dalam perjalanan waktu karier anak-anak veteran PPM ini selalu bertemu dalam setiap dekade, seolah-olah “ada di mana-mana tapi tidak ke mana-mana”. Itu yang kita alami bersama almarhum juga. Boleh dikatakan ada tiga periode penting dalam perjumpaan saya dengan Bung Tjahjo khususnya. Karier Tjahjo tidak terlepas dari PPM ini sejak awalnya, hinga duduk menjadi ketua umum KNPI. Perjumpaan pertama saya saat itu karena saya diminta untuk masuk aktif di PPM oleh ketua umum LVRI Letjend Ahmad Taher, dan saya didudukkan di departemen cendikiawan atau litbang PPM, dengan amanah kepada saya dari Sang Jenderal agar meningkatkan kemampuan intelektual kader-kader anak pejuang. Saya terima dengan satu syarat bahwa saya tidak mau masuk menjadi Golkar, sebetulnya amat mustahil dalam ormas saat itu yang mengharuskan menjadi Golkar. Saya hormat pada Pak Taher yang juga saat itu sebagai Menteri Pariwisata dan Postel (Menparpostel) dengan lapang dada menyatakan menjamin secara pribadi saya tidak Golkar, begitu pula sikap Bung Tjahjo pada saat itu sama-sama membawahi Bidang Cendikiawan PPM. Ternyata memang saya tidak sendiri, ada seorang pengurus Piveri juga ketika itu bernama Ny. Kartini Rajasa yang mendapat dispensasi dari Ibu Rooslila Taher (istri dari Pak Ketua LVRI). Hanya kita berdua se LVRI dan PPM se Indonesia yang bukan Golkar, tentunya bukan tidak ada konsekuensinya, yaitu tidak bisa menjadi anggota Dewan. Tetapi kebanggaan saya adalah lembaga-lembaga ini memberi hormat ideologis pada kami termasuk dari Bung Tjahjo. Kalau kita sedang rapat pengurus pusat menjelang Pemilu pasti pengurus akan mengedarkan formulir kesediaan mencalonkan diri sebagai anggota Dewan. Saat pengumpulan formulir pasti kawan-kawan berseloroh karena jatah lebih satu lembar, yaitu hak saya tidak digunakan untuk pencalonan. Begitu juga Bung Tjahjo heran ketika pertanyaan saya kepada Kasospol ABRI Letjen Harsudiono Hartas ketika saya sehabis memoderatori seminar beliau di acara HUT LVRI di Palembang yang dihadiri Megawati Soekarno Putri dan Tommy Mandala Putra. Saya sempatkan bertanya kepada beliau sehabis acara makan siang diantara pengurus pusat PPM, apakah seluruh anak veteran harus seragam menjadi Golkar, padahal waktu berjuang saat revolusi 1945 pejuang-pejuangnya terdiri dari aneka unsur; Bhinneka Tunggal Ika dan Tanhana Dharma Mangrwa? Bung Tjahjo saat itu surprise juga dengan pertanyaan dari bidang cendikiawannya, dan jawabannya yang juga cerdas dari sang Jenderal, hanya dengan tiga kata; “Ada waktunya nanti.”
Momen kedua bersama almarhum ketika proses pencalonannya menjadi Ketua Umum KNPI, ia menunjuk beberapa orang dekatnya sebagai tim khusus 24 jam boleh dikatakan, yang saya tidak habis pikir, ia menunjuk saya salah satunya dengan satu sahabat dekat kita juga Bung Anung, unsur PPM asli anak Jatim, padahal kita berdua orang-orang yang vocal adanya. Almarhum seorang yang pegang janji selama hidupnya, ketika akhirnya memang menjadi Ketum KNPI melalui pertarungan yang hebat, ia tidak lupa ”kawan” dengan menempatkan nama saya sebagai ketua Bidang Budaya DPP KNPI yang segera dilantik oleh Menpora Ir. Akbar Tanjung. Sebelum dilantik saya menyampaikan tanpa mengurangi rasa hormat atas kepercayaannya memilih saya, tapi atas pertimbangan satu dan lain hal, saya mohon nama saya untuk dihapus dari susunan pengurus, dan saya katakan padanya walau saya berada di luar garis karena aktif di berbagai gerakan LSM, yang saat itu dituduh sebagai OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), saya akan tetap berusaha mendukung dalam membahas issue-issue sosial budaya. Ini dibuktikan suatu ketika almarhum meminta saya ikut menangani dan mengisi acara di Gedung Pemuda Kuningan, Jakarta tentang gerakan Anti-Nuklir. Saya hormat padanya walau kelihatannya dia “manut” tapi dia tetap berani dan kritis, ketimbang orang yang kelihatannya kritis progresif tapi berakhir dengan sikap “manut”.
Berselang waktu satu dasa warsa saat sejalan dengan berlangsungnya reformasi, pada suatu momen, yang boleh dikatakan sebagai momen ketiga kita bertemu lagi setelah lama selesai dua kali kepengurusan PPM di Pusat, ketika saya menduduki sebagai ketua Pokja Politik Litbang DPP PDIP tahun 1999-2004 di bawah pimpinan Kwik Kian Gie saya bertemu Bung Tjahjo di Nirwana Room Hotel Indonesia, dan sekonyong-konyong almarhum sudah memakai baju seragam hitam merah PDIP. Bung Tjahjo langsung menyapa sambil mengangkat tangan salam merdeka dan mengatakan; “Siap lapor komandan, saya sekarang di PDIP.” Saya sungguh hampir tidak percaya bahwa sahabat saya ini bertemu lagi dalam masa yang terbalik, dan langsung terngiang tiga kata Jenderal Kasospol beberapa tahun silam, bahwa ternyata ini waktunya tiba ketika anak-anak pejuang tidak harus satu warna yaitu kuning, tapi bisa juga merah, dan perbedaan itu bukan musuh. Walau berbeda kita tetap satu; Tanhana Dharma Mangrwa, pengabdian yang tidak mendua, semboyan kita tanamkan dalam diri kita semenjak di Pemuda Panca Marga-LVRI. Salah satu bukti sebagaimana pernah dijelaskan dalam buku Erick Hoffer “True Believer” yang menjelaskan mengenai seorang penganut setia pada nilai-nilai yang dipegangnya seolah-olah buta dan tekad tanpa kompromi untuk rela berkorban sampai mati memperjuangkan tujuan tertentu sebagai tujuan suci (mission sacre). Tentu saja seorang true believer bisa karena bodoh sekali atau cerdas sekali, tidak ada yang abu-abu (grey area), disitulah yang dimaksud pengabdian tiada mendua, bersifat ideologis terbuka, bukan sekedar indoktrinasi. Ketika saya belakang hari bertemu almarhum sebagai Menteri Dalam Negeri, ia secara ideologis mendukung Pusat Kajian Ideologi Pancasila (PKIP) yang kita dirikan jauh sebelum lembaga ideology lainnya berdiri, bahkan kita bisa bekerjasama program dengan salah satu Direktur Ideologi di Kemendagri. Ia juga tanpa batas memperjuangkan program penguatan budaya bangsa tanpa ragu-ragu untuk kebenaran, tidak mengorbankan strategis demi taktis, lebih sebagi pemimpin ketimbang penguasa. Dengan demikian ia dapat saya sebutkan sebagai seorang cerdas yang true believer sejati kebangsaan, yang bekerja keras berjuang hingga mati dalam tugas suci sebagai menteri yang berkaitan dengan kedisiplinan karakter aparatur Negara.
Oleh karena itu Pak Taufiq Kiemas (TK) pernah bertanya pada saya perihal keterlibatan Bung Tjahjo di anak-anak pejuang, saya berani menjamin kesetiaan seorang anak pejuang apapun itu pangkatnya. Pak Taufiq yang pernah saya usulkan untuk membuka Munas PPM di Wisma Jaya Raya Ciawi diawal tahun dua ribuan dan amat bangga menerima baret hijau sebagai anak pejuang juga, dan tidak ragu menerima Bung Tjahjo sebagai Sekjen PDIP dikemudian hari, karena ia selalu diminta mengiring Pak TK hingga membuka pameran lukisan almarhum abang saya Semsar Siahaan, dan Bung Tjahjo diminta pertimbangan serta tanggapan atas tema-tema lukisan tersebut.
Tjahjo Kumolo berjuang tanpa pamrih sampai titik darah penghabisan masa hidupnya di organisasi yang tidak kenal lelah untuk tetap setia tanpa mendua dalam pengabdiannya pada bangsa dan Negara. Sudah semustinya organisasi-organisasi yang pernah diurus dan dibesarkannya menjadikan dirinya contoh kepada kader-kader muda lainnya. Pemimpin yang bisa memberi dan menjadi adalah contoh lebih penting ketimbang pemimpin yang hanya bisa berslogan dan demagog.
Selamat jalan selamanya Tjahjo, anak pejuang sejati. Engkau akan menjadi kenangan abadi walau kebenaran itu banyak musuhnya. RIP.
Purwokerto, 3 Juli 2022
Ashoka Siahaan