Obituari Ostina Emanuele Pandjaitan-Nasution
Dari seorang bidan merangkap menjadi seorang redaktur pelaksana bukan merupakan suatu hal yang mudah dilakukan orang yang bukan multitalent. Talentanya karena ia dapat mengembangkan yang disebut tadi antara yang ideal dan konkret dan bukan Ego. Ia mampu memisahkan hal yang eksistensi diri dengan ego diri karena kerasionalannya yang lurus dan tulus sebagaimana filosofinya. Bahkan ia dapat membuktikannya ketika surat kabar harus ditutup karena situasi politik semakin tidak menentu, ia mampu rasional menjaga keseimbangan untuk tidak menjual diri sebagai intelektual, dan mengambil keputusan lebih baik ditutup daripada berkhianat pada kelurusan dan ketulusan berita-berita yang disajikan. Akhirnya ia beralih ke dunia bisnis perbengkelan dan importir kecil-kecilan permobilan, dan tetap menjaga keseimbangan tadi dalam dunia bisnis sekaligus menjadi intelektual (dosen) dan Dekan Ilmu Politik dai Universitas Tujuh Belas Agustus Jakarta sekaligus ketua umum alumni Untag Jakarta. Dapat dikatakan ia seorang multitalent lalu menjadi multi facets dan multitasking. Ia dituntut untuk ikut bergerak di banyak bidang tanpa menonjolkan egonya tapi lebih pada tugasnya (tasking). Perjumpaan dengan Ibu O.E inipun unik dan eksistensial. Tentunya dipandang dari berbagi sisi baik itu umur, kehidupan gendernya, profesinya, tapi perjumpaan kita unik karena mempunyai tujuan filosofi yang sama. Kalau Ibu Ostina pada akhirnya memilih dirinya sebagai eksistensi Kierkegard, saya sendiri mengatakan kepadanya memilih sebagai epistemologi Kant. Kedua pemikiran ini bisa saling mengisi ketika saya sampaikan bahwa pertentangan Kierkegard dan Hegel itu bisa diatasi, maka setujulah ia menerbitkan bukunya yang kedua Problema Manusia yang saya susun berdasarkan pemahaman jalan keluar epistemologi Kant, antara teori dan praktek, antara aposteriori dan apriori ilmu pengetahuan.
Ketika perjumpaan eksistensial kita di jurusan filsafat di Universitas Indonesia tahun 1986 walau jauh lebih muda Ibu O.E bersama kelompoknya disebut tiga dara yaitu Ibu Ostina, Ibu Kartini Radjasa (mantu Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo), dan Ibu Dani (istri Jenderal Dani) tetap menganggap saya senior dari sudut angkatan mahasiswa. Saya sebagai ketua himpunan mahasiswa filsafat dan mereka dengan tulus dan lurus bersedia menjadi anggota himpunan mahasiswa filsafat tersebut. Sungguh menakjubkan kerasionalan dan kerendahan hati ketiga dara yang posisinya sebagai dosen di universitas lain. Semenjak itu mereka memohon saya menjadi mentor filosofi dalam seminggu dua kali kita bertemu di Cut Mutia no. 5 kediaman Ibu Ostina hingga mereka menyelesaikan masa skripsinya. Kelebihan Ibu Ostina diantara kedua ibu lainnya adalah memandang filosofi dalam gerak, sehingga menjadi konkret seperti yang sering saya sebutkan sepanjang bertahun-tahun dalam diskursus kita di rumahnya mengenai ajaran Kant dan Ernst Kassirer, an Essay on Man dunia Simbol Manusia (anima simbolicum). Ialah yang menangkap yang saya maksudkan philosopical practical mengingat practical reasonnya Emmanuel Kant. Pun ketika ia berniat menulis tesis doktoralnya tentang Dalian na Tolu saya anjurkan tidak melupakan kerangka epistemologi Kant. Oleh sebab itu walaupun setelah kelususan sebagai sarjana filsafat di UI, Ibu Ostina meminta saya tetap membangun gerak pemikiran, dan kita sejalan dengan open house Selasaan untuk memajukan penulisan dan diskusi para intelektual baik di Setiabudi 5 maupun di Cut Mutia 5. Saya sangat besar hati sekali saat itu karena ada yang bisa mengerti dunia konkret filosofi. Lalu saya memutuskan untuk berhenti dari Yayasan Obor Indonesia yang dipimpin Mochtar Lubis untuk merintis mendirikan penerbitan Yayasan Sumber Agung tahun 1993 bersama-sama dengan Ibu Ostina, Ibu Albertina Baramuli (istri ketua DPA Dr. Arnold Baramuli), dan Ibu Ani Soekawati (istri mantan Menteri Kesra). Akhirnya filsafat mendapatkan bentuk konkretnya sesuai dengan yang kita cita-citakan untuk umat manusia, khususnya Ibu Ostina yang memang dari mudanya sudah membidani manusia konkret maka bukan hal asing untuk menangkap filsafat yang praktikal. Kita menerbitkan puluhan judul buku dengan nafas filosofi. Sejalan dengan penerbitan, saya sendiri sebelumnya sudah mendirikan Padepokan Filosofi dan Pondok Tani Organik Yasnaya Polyana di Jawa Tengah perwujudan dari pemikiran Leo Tolstoy dan JJ. Rousseau dengan epistemologi Kant. Sehingga buku-buku dari penerbitan tidak berhenti dalam diskusi saja tapi bisa mendapat masukan dari dunia realita pertanian dan manusianya dalam konteks kultural dan sosial. Ibu Ostina dan Ibu Albertina sangat banyak berkontribusi kritik membangun memajukan Padepokan Filosofi dan Pondok Tani, karena itu keduanya kami berikan Penghargaan Filosofi Tridaya Upaya Karsa di Pendopo Kabupaten Banyumas, Purwokerto, Jateng tahun 2020 lalu.
Legacy Ibu Ostina di Padepokan Filosofi bisa dilihat dalam pemikirannya yang unik dan langka ketika diwawancara di Padepokan tentang berbagai issue filsafat praktikal (practical philosophy), yang saya lampirkan dibawah bersama obituary ini. Tentunya legacy (kenangan) nya bukan di satu tempat, tapi dibanyak tempat dan situasi (multy quarters.), bukan hanya di lokasi kantor, rumah, pondokan, kampus, tetapi di hati orang-orang yang pernah ada dalam perjumpaan dengan almarhum, sebagai perjumpaan manusia yang akan terkenang terus. Tulisan Obituari ini sebetulnya sebagai salah satu curahan hati dari mungkin banyak tulisan obituari orang-orang lainnya, hanya saja saya menuliskannya dari sisi filosofi yang pernah kita bersama dalam berbagai perjumpaan yang amat unik, yang mungkin dapat menggambarkan Sosok Ostina lebih dalam dari sudut pemikiran dan pandangan filosofinya. Dan riwayat keluarga serta sahabat memang sudah ditulis dalam buku biografinya ketika diperingati pada ulang tahunnya yang ke 95 pada tahun 2018 yang lalu.
Sebagai penutup obituari ini diharapkan filosofinya yang keseimbangan tadi bisa diwariskan kepada keluarga besar sedarah (dongan sabutuha) maupun kepada kawan persahabatan (dongan sahuta). Dengan kata lain obituari sebagai renungan ialah apa makna seorang Ibu bernama Ostina Emmanuel Pandjaitan boru Nasution. Ada dua hal : pertama, hal yang konkrit. Kedua, hal yang rasional. Keduanya dalam satu mata uang dengan dua permukaan yang berbeda dan berada dalam keseimbangan. Pergolakan hidupnya cukup panjang yang tidak hentinya mencari dan belajar serta berbagi. Amanah dari almarhum ketika kita berjumpa adalah membentuk lingkaran intelektual nasional dan internasional, dan kita penuhi ketika saya dirikan Prometheus Society tempat berkumpulnya pemikir tua dan muda serta berbagai kalangan penulis tanpa memandang segregasi apapun. Karena itu bergesernya tempat perjuampaan dari Setiabudi 5 ke Cut Mutia 5 selama hampir 25 tahun saya mengelola perjumpaan dan diskusi mingguan. Banyak karya Ibu terwujud dari karya hasil semangat intelektual yang kita bangun untuk semua anggota bisa berkarya konkret. Kekonkritan dan keunikan terus terpelihara termasuk dengan terbitnya buku Wiratmo Soekito “Manusia Utopia” yang diberi pengantar oleh Dr. Maruli Panggabean (ipar dari Bapak Donar Nasution). Sungguh giat perjumpaan manusia unik dan konkret di Cut Mutia bahkan sempat menjadi cita-cita almarhum untuk memfungsikan puluhan ribu bukunya kepada publik melalui perpustakaan Ostina-Samuel yang memang belum sempat terwujud, masih banyak ide-ide konkret yang belum sempat menjadi konkret. Obsesinya selalu mencari keseimbangan. Salah satu soal umum dan mendasar adalah pendapatnya tentang uang, kelihatannya memang sepele tapi amat mengejutkan kalau ditulis sebagai pemikirannya; “bahwa uang adalah alat dan jangan uang dijadikan tujuan atau digunakan untuk mengukur hubungan manusia”. Disini bukti skripsi filosofinya bukan sekedar slogan, tapi dalam praktek pergaulan kehidupan dan perjumpaan ia jalankan dengan cara seimbang dan lebih pasnya dengan apa yang diistilahkan dengan filsafat jawa Tepa Selira. Kita selama berpuluh-puluh tahun tidak pernah mengukur kerjasama dengan transaksional seperti ketika dalam perusahaan yang ia jalankan. Ia mengerti betul hubungan perjumpaan manusia yang bukan dalam dunia bisnis harus dibangun atas dasar pengertian rasional dan tepa selira (mengerti sebelum mengetahui) sehingga ia bisa memimpin dengan bijaksana dalam pergaulan intelektual. Ketika saya mempersiapkan Ibu Ostina ikut bergabung dengan World Philosophical Congres di Moscow tahun 1995 dan kongres internasional di Kasiwa Japan dibawah Federation Internationale des Societes de Philosophie kita berhasil memasukkan lembaga Sumber Agung Foundation dalam International Network of Philosophical and Intelectual yang berpusat di Paris dan Ankara, dan presiden dari federasi tersebut yaitu Prof Dr. Ioanna Kucuradi bersedia menjadi member lembaga kita. Kerasionalan membuat lembaga kita bisa berkembang tanpa menimbang untung rugi secara material. Ini yang patut dikenang selamanya terutama bagi aktivis perempuan bisa mengambil makna hidupnya yang tidak berwacana soal peran perempuan dan laki-laki, tapi justru bisa berperan setara dalam ketulusan dan kelurusan yang rasional. Jarang memang dijumpai perempuan yang semacam ini tetapi bukan tidak konkret dan mustahil bisa diikuti zaman sekarang, karena dari semenjak mudanya sudah berpikiran maju dan modern rasional sebagaimana tertera pada wawancaranya di Padepokan yang tercantum di bawah ini. Sekali lagi Selamat Jalan Ibu Ostina sebagaimana penulis dan pemikir yang pantas diulas dan dijadikan kajian filosofinya yang masih banyak terpendam dalam tulisan dan karya konkretnya supaya tidak berhenti pada kenangan yang seremonial belaka. Berpikir lurus Berhati tulus akan berkembang menjadi Berpikir tulus dan Berhati lurus. Bermuara pada keseimbangan perjumpaan Manusia Konkret Ostina Pandjaitan.
Salam Keabadian, rest in peace
Purwokerto, 12 Februari 2021
Ashoka Siahaan