Oleh : Ashoka Siahaan[2]

Kaum marjinal selalu menjadi sorotan yang menarik karena kontroversial dalam berbagai teori ekonomi dan sosial maupun budaya. Ada yang mengatakan golongan marjinal hanya akan membebani anggaran belanja negara, ada juga yang mengatakan bahwa kaum marjinal hanya tercakup untuk masyarakat urban saja dengan pendapatan yang dibawah rata-rata dan akan menjadi sasaran dari lapisan yang diatasnya yang lebih kuat. Dengan kata lain secara sosiologis dianggap penyebab kerawanan sosial, ketidaknyamanan dalam keseharian kehidupan sehingga dapat terjadi perlakuan yang diskriminatif dalam berbagai bidang kehidupan,  hubungan sosial diantata masyarakat, warga dan kelompok individu.

Oleh karena itu kita bisa melihat kaum marjinal dari sudut yang umumnya secara mendasar bahwa yang termarjinalkan adalah kaum atau golongan yang terpinggirkan yang bukan atas dasar dari kemauannya melainkan disebabkan faktor-faktor yang amat komplek. Hanya saja perlu diperjelas bahwa persoalan kelompok marjinal pendapat kebanyakan orang menyorotnya dari segi kehidupan urban (perkotaan), padahal sangat tidak adil juga kalau tidak melihat kelompok marjinal di daerah rural (pedesaan).

Sebenarnya untuk para sosiolog tidak pas lagi membahas persoalan-persoalan sosial dengan memisahkan desa dan kota. Titik pemisahnya tidak tegas lagi disebabkan mobilitas sosial secara fisik maupun teknologi informasi sudah begitu tipis pemisahnya sehingga boleh dikatakan peebedaan kelompok marjinal kota dan desa menjadi bias. Bahkan kalau mau dikkategorikan miskin kota dan miskin desa jauh lebih berat konsekuensi sosial budayanya justru di pedesaan. Walaupun kita mengatakan kearifan lokal itu kebanyakan masih banyak bertahan di pedesaan tapi hal itu lebih pada praktek seremonial, kehidupan tolong-menolong, gotong-rotong yang hampir tergantikan dengan kompensasi uang, budaya transaksional politik misalnya bukan lagi menjadi ciri masyarakat kota.

Budaya kaum marjinal kota membuat demonstration effect, kehidupan konsumtif kota berdampak terhadap kehidupan bersahaja di desa. Seringkali paguyuban yang semula ramai di desa semakin ditinggalkan kaum marjinal muda untuk merantau keluar daerahnya bahkan keluar negeri. Pilihan kaum marjinal di desa lebih sempit ketimbang kaum marjinal kota, ini sajalah yang mungkin membedakan diantara kedua kelompok marjinal tersebut diatas.

Sumber ; youtube.com

Serasa tidak adilnya kalau kita ingin membahas perbedaan kesempatan diantara kedua lelompok ini. Dalam buku Hernando de Soto mengenai Informal Sector Economy yang menggambarkan peran besar usaha ekonomi pangan sektor informal yang perlu diperhitungkan karena mereka teruji berhasil menopang perekonomian suatu negara. Padahal daya dukung desa yang memasok tenaga kerja maupun sumber daya bahan baku banyak datang dari wilayah pedesaan seperti ternak, sayur-mayur, buah-buahan, perikanan dan bahan baku pengolahan pangan serta herbal. Perlu ditinjau ulang hubungan kerja dan relasi industri diantara kelompok-kelompok marjinal dari berbahai sudut, apakah itu geografis, latar belakang profesi, umur, gender dan sebagainya.

Oleh karena itu dalam pembahasan tulisan ini saya lebih berbicara secara umum tentang kearifan lokal baik itu desa maupun kota yang mampu mendorong kelompok marjinalnya masing-masing dari sudut kesamaan masalah, yaitu menjembatani diskriminasi dan masalah-masalah sosial dengan berbagai solusi menggunakan kearifan lokal yang mereka umumnya miliki. Kita tetap  berpegang pada Pembukaan UUD 1945 yang cukup tegas membela kesejahteraan umum dan diperkuat dengan sila kedua Pancasila -Perikemanusiaan yang adil dan beradab-. Jadi ada dua substansi penting dari kearifan lokal kita yaitu : Keadilan (sosial) dan kesejahteraan (umum). Tapi  bagi kelompok miskin dan terpinggirkan senjata satu-satunya adalah kemahiran dan kedisiplinan berorganisasi dalam segala aspek, cara dan prosesnya yang menjadi tanggungjawab komunitasnya maupun pemerintah yang dapat melatih dalam  berbagai bidang keahlian, tenaga kerja, keterampilan, dst. Kaum marjinal harus diberdayakan (empowerment) dan diadvokasi agar mau maju dan disiplin dengan  berlatih dan mengenali  bakat serta kemampuannya. Mengembangkan kemampuan  bersama sesuai bakat masing-masing dalam satu wadah organisasi. Tanpa terorganisir akan mustahil istilah kemandirian, karena itu harus saling menguatkan baik diantara komunitasnya (horizontal) maupun secara vertikal dengan berbagai lembaga diatasnya bisa bersama berjaringan dalam berbagai program yang diadakan oleh berbagai instansi pemerintah maupun Corporate Social Responsibility (CSR) swasta.

Mengapa kita tidak bisa bersama kaum marjinal? sebuah ungkapan dari Mahatma Gandhi : This world provides enough for human needs, but not for human greeds. Bumi cukup untuk yang bukan rakus. Dari ungkapan ini kita harus berkaca bahwa yang membuat kita tidak bisa bersama, apalagi bersama kelompok marjinal, adalah karena kerakusan sesamanya maupun tidak sesamanya, tidak terorganisir oleh kearifannya sendiri di lingkungannya. Banyak contoh untuk itu termasuk sumber-sumber penguatan masyarakat seperti lahan dan air, hutan dan sungai, organik dan unorganik. Semua ini harus diatasi oleh kearifan lokal yang think locally act globally yang terorganisir. Bersama kita bisa dalam kearifan lokal kita, antaralain dengan bergotong-royong, musyawafah mufakat dapat menjadi advokasi untuk pemberdayaan, bukan untuk dependensi atau kemandirian dalam arti sempit, dengan menghindari free – fight  competition yang tidak egaliter.

Sesuai dengan  Abraham Maslow seorang psikolog humanistik, dengan teori hierarki piramida kebutuhan manusia yaitu dari tingkat mendasar kebutuhan fisik, rasa aman, rasa memiliki, penghargaan, hingga aktualisasi diri.

Jelas dari hierarki kebutuhan kemanusiaan bukan hanya sampai diurusan perut semata melainkan mencapai tahap penghargaan (esteem) dan aktualisasi diri yang berhubungan dengan menghargai dan dihargai orang lain, serta kepercayaan diri hingga kreatifitas dan menerima kenyataan tanpa prasangka serta selalu mencari problem solving. Dengan demikian bersama kita bisa dengan kaum marjinal, memberdayakan (empowerment) kelompok marjinal dengan membangun aktualisasi diri mereka tanpa terjerumus menjadikan egoisme diantara sesamanya.

Dalam menghadapi berbagai kesempatan baik dari pemerintah ataupun swasta sebagai good-will (kemauan baik) sebaiknya kaum marjinal pun terbangkit strong -will (kemauan keras) mereka dalam menghadapi tantangan kedepannya dalam bentuk kegiatan bersama dan  berjaringan (networking) saling menguatkan sesama kelompok marjinal. Aktivis gerakan pun tidak harus menciptakan ketergantungan sepihak tapi haris mengaktualisasikan kelompok yang diberdayakan. Mereka harus mengikuti filosofi kearifan lokalnya masing-masing di daerahnya, begitu pula kearifan lokal harus mengikuti perkembangan tanpa hanyut dan terus menerus bersifat advokatif supaya tidak termarjinalkan melainkan tetap mampu berperan kreatif dan kritis.


[1] Makalah disampaiakan dalam Seminar Kearifan Lokal dan Penanganan Masalah Sosial bertajuk Kearifan Lokal sebagai penguatan (empowerment) Kaum Marjinal” Kerjasama Direktorat Organisasi Kemasyarakatan, Ditjen Polpum, Kemendagri RI dengan Pusat Kajian Ideologi Pancasila. Purwokerto, Universitas Wijayakusuma Kabupaten Banyumas, Kamis 15 November 2018.

[2] Ketua Umum dan Pendiri Pusat Kajian Ideologi Pancasila dan Pendiri Lembaga Advokasi Kearifan Lokal (LAKL) dan Pendiri Padepokan Filosofi dan Pondok Tani Organik Yasnaya Polyana, Purwokerto